Sinting!

4.6K 768 70
                                    


Nadine baru saja memakai masker wajah untuk merawat wajah cantiknya itu. Kini dia berbaring nyaman di tempat tidurnya sambil berkutat dengan ponselnya, berselancar di dunia maya, memblokir satu persatu nomer kontak asing yang mengajaknya berkencan.

Ya, itu sudah menjadi hal yang biasa bagi perempuan berparas cantik itu.

Nadine masih terus sibuk dengan kegiatannya hingga tiba-tiba saja wajah Raja terlintas di benaknya hingga Nadine terdiam dan mengerjap cepat.

Nadine masih ingat bagaimana cara Raja menatapnya di kampus siang tadi. Bagaimana cara Raja menatapnya, bicara padanya, meminta maaf. Semua itu tidak bisa Nadine enyahkan dari pikirannya.

Gue balikin uang lo. Gue lupain masalah di kelab dan waktu lo ngelempar gue pakai uang ini. Gue minta maaf karena udang ngebales perlakuan lo soal uang, gue juga minta maaf soal ucapan gue kemarin.

Nadine menggigit bibirnya pelan ketika mengingat betapa cool lelaki itu ketika megucapkan kalimat permohonan maaf padanya. Padahal Nadine kira Raja itu adalah lelaki bermulut tajam dan juga jahat. Apa lagi sejak Nadine mendengar ucapan Raja mengenai dirinya.

Tapi sejak tadi siang, Nadine berubah pikiran. Bahkan kini entah mengapa sudut bibir Nadine terangkat ke atas membentuk senyuman kecil yang manis.

Raja... kenapa lelaki sedingin es itu jadi terlihat menarik bagi Nadine sejak pertemuan mereka tadi siang, ya? Sikap jutek dan dinginnya itu malah membuat Nadine merasa kalau Raja begitu menarik.

Jika Nadine pikir-pikir, selama ini belum ada lelaki manapun yang berani bersikap sekasar itu pada Nadine. Hampir semua lelaku bertekuk lutut di hadapannya. Tapi Raja berbeda.

Ya, Raja terlalu berbeda hingga rasa-rasanya Nadine ingin kembali bertemu dengannya.

"Sayang?"

Nadine mengerjap lalu menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka, sedetik setelah itu dia tersenyum lebar dan melompat cepat. "Papa!" pekiknya yang kini sudah berhambur kepelukan Papanya.

Heru membalas pelukan putri satu-satunya itu dengan erat sambil terkekeh pelan. Tidak peduli putrinya sudah berumur dua puluh satu tahun dan beranjak dewasa, tapi setiap kali melihatnya pulang bekerja, putrinya itu tetap saja bersikap sama seperti dia berumur delapan tahun.

"Kok Papa nggak bilang Nadine sih hari ini mau pulang? Katanya minggu depan." Tanya Nadine, dia sedikit melerai pelukannya agar bisa menengadah ke atas, menatap Heru dengan tatapannya yang menggemaskan.

Heru mengusap puncak kepala Nadine. "Sengaja biar kamu kaget." Kekehnya. Bibir Nadine mengerucut lucu. "kerjaan Papa selesai lebih cepat, sayang. London sama sekali nggak menarik kalau kamu nggak ikut sama Papa."

Nadine tersenyum lebar. "Sabar ya, Pa. Tinggal tiga semester lagi." Nadine menunjukan tiga jemarinya. "selesai wisuda, Nadine langsung bantuin Papa kerja. Lagian, kan Nadine satu-satunya penerusnya Papa. Tenang aja, Nadine nggak akan kemana-mana kok."

Heru tersenyum tipis selagi memandang wajah Nadine. Semenjak kepergian istrinya sepuluh tahun lalu, hanya Nadine yang dia miliki. Nadine yang manja perlahan-lahan berubah menjadi perempuan tangguh sejak kepergian Mamanya.

Dulu selalu ada istrinya yang menemani setiap kali Heru harus menemui masalah dalam hidupnya maupun pekerjaannya. Istrinya akan selalu mendukungnya, menjadi tempatnya berkeluh kesah hingga keadaan kembali membaik.

Namun setelah istrinya pergi, Heru tidak bisa melakukannya lagi. Dia hanya memendamnya sendiri, menyelesaikan semua masalah seorang diri dan berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya.

RAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang