10: Clarity [4]

643 70 12
                                    

All the characters belongs to J.K. Rowling

"Breath." - Hermione J. Granger

Draco mengemas semua barang yang berkaitan dengan Astoria yang ada di rumahnya. Ia memasukkan semuanya ke dalam box dan memerintahkan Pernie untuk membakarnya. Dimulai dari foto, jubah, buku, apapun. Draco kembali menjadi Draco yang dingin dan tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Ia mengemas dengan sihir tidak mengizinkan tanganya ternodai dengan barang-barang tersebut. Setelah dirasa bersih, Draco keluar dari kamarnya dan memanggil Pernie untuk membersihkan sisanya. Ia berjalan menuju ruang lukisan. Di tengah ruangan itu ada jendela yang besar menghadap ke laut. Draco memilih membuka jendela itu dan berdiri di pinggir jendela.

"Son,"

Suara yang paling di segani dan ditakuti oleh Draco terdengar. Ia hanya mengangguk tanpa ekspresi. Lucius tidak berbicara apapun kepada Draco setelah Draco terluka. Ia hanya membicarakan bisnis dan bisnis. Ia hanya gengsi untuk menanyakan apa yang sebenarnya anak semata wayangnya inginkan.

"Kau ingin bercerita sesuatu kepadaku?"

Draco menggeleng. Lucius terdiam. Ia mengetukkan tongkatnya ke karpet dengan hati-hati.

"Mungkin Father memang tidak pernah menanyakan langsung kepadamu. Mungkin Father juga tidak mengerti perasaanmu. Tapi, kau harus tau bahwa aku peduli padamu."

Draco hanya menyeringai. Mengingat betapa kelamnya masa remaja-nya dulu. Ia bahkan tidak sempat merasakan jatuh cinta kepada perempuan-perempuan yang selalu meneriakkan namanya ketika Ia bermain Quidditch. Ia hanya berfikir dan terus berfikir bagaimana melindungi keluarganya dari Penyihir Jahat yang tidak tahu diuntung. Ia sendiri yang mengubah seluruh Manor. Berusaha menghapuskan seluruh ingatan yang membuatnya merasa sedih.

"Kau bertemu dengan Miss Granger?"

Draco tampak berfikir beberapa saat. Lalu hanya mengangguk singkat.

"Well, kami sudah bisa disebut berteman."

Lucius mengangkat alisnya dan mengangguk singkat. Batinya merasa resah dan khawatir apabila nantinya akan ada hal yang sebenarnya wajar terjadi. Konflik batin mulai menyerang Lucius tapi kali ini Ia memilih diam.

"Jangan ganggu dia, Father. Sungguh, aku ingin memiliki teman juga. Potter, Weasley..."

Lucius terdiam lagi. Ia hanya mengangguk singkat. Kemudian berdiri dan pergi begitu saja. Draco menghela nafasnya, selama ini Lucius dan Narcissa memang menghabiskan waktunya di Manor saja. Selain karena tahanan rumah. Draco mengerti mereka berusaha untuk menjauhi segala urusan sisi gelap. Hati kecilnya berharap Lucius dan Narcissa akan benar-benar berubah.

Narcissa beberapa saat kemudian memasuki ruangan. Ia mendekat kearah Draco dan merangkulnya erat. Draco segera menunduk dibuatnya. Entah mengapa, perlakuan Ibu-nya selalu membuatnya merasa hangat.

"Pernie sudah membakarnya habis tidak tersisa."

Draco mengangguk. Narcissa memeluk Draco lebih erat. Ia menggenggam jemari Draco dengan erat.

"Mother sangat sangat menyayangimu. Kau mau minum teh?"

Draco mengangkat bahunya.

"Baiklah, Mother anggap itu tanda persetujuan. Ah, Draco merasa laut sangat indah dari sini. Menenangkan."

Draco mengangguk lagi. Narcissa kemudian meminta Wingky untuk mempersiapkan teh. Ia meminta Draco untuk duduk bersamanya di sofa panjang berwarna hitam. Setelah duduk. Draco diminta Narcissa untuk tidur di pangkuanya. Narcissa mengusap rambut platina Draco dengan tulus.

A Poem Titled You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang