Happy reading
*****
Sebuah benda yang terlihat seperti televisi berukuran kecil, menampilkan garis yang membentuk lengkungan naik turun. Diikuti dengan suaranya yang beriringan dengan detak jantung seseorang yang sedang tertidur lemah di atas branker rumah sakit.
Tangannya sedikit bergerak dengan tertatih. Beralih memegang kepalanya yang sedikit sakit akibat terlalu lama tak sadarkan diri. Edwin mulai membuka mata dengan perlahan. Mencoba menyesuaikan cahaya yang amat terang di ruangan itu.
Dia beralih menatap sekeliling, sepi, tak ada seorangpun di sampingnya. Hanya ada bunyi layar monitor yang menemaninya. "Rani.. "ujarnya lemah.
Dengan sedikit peliknya Edwin mencoba mendudukkan dirinya. Dengan selang infus di tangan kirinya dan selang yang berisi cairan berwarna merah yang mengalir di tangan kanannya.
Cklek-
Derit pintu terbuka menampilkan sesosok gadis dengan dress berwarna maron, memasuki ruangan yang di tempati Edwin. Mata gadis itu terbelalak kaget, melihat Edwin yang sudah sadar dari tidur panjangnya dan sekarang sedang menatapnya heran.
"Siapa, kau? "tanya Edwin.
"Sa-saya, Senja. Saya diminta Tante Rani, buat jaga Om. "jawab Senja sembari mendekat kearahnya.
"Kenapa harus, kau? Dia pergi kemana? "tanya Edwin lagi.
Senja sempat merasa takut diberi pertanyaan seperti itu, apalagi menatap wajah Edwin yang tegas dan seram, menurutnya. Ia mencoba setenang mungkin menunjukkan ekspresi wajahnya. Wajar saja jika Edwin bertanya seperti itu, lagi pula, dia belum kenal dengan Senja. Jadi wajar-wajar saja, jika dia menatap Senja dengan aneh.
"Sa-saya, saya juga gatau, Om. Tadi, kata Tante Rani, mau ke resepsionis bentar, buat ngurus administrasi."jelas Senja.
Edwin menganggukkan kepalanya paham. Kembali mengedarkan pandangannya lagi dan berhenti disebuah selang di tangan kanannya. Yang sedang mengalir darah ke dalam tubuhnya.
" sakit apa aku? "tanya Edwin lagi sambil menatap Senja, menunggu penjelasan
"Saya denger, MDS, Om."
"Apa itu?"tanya Edwin heran. Sebab, dia belum pernah mendengar tentang penyakit itu.
"Bentar, Om. Saya shearcing di google dulu."jawab Senja yang mendapat tawahan dari Edwin.
"Duduklah, kau tidak lelah terus berdiri seperti itu? Dan jangan takut melihat ku. Wajah ku memang seperti ini, tapi hati ku baik bagai malaikat di sampingmu."ujarnya sembari tersenyum.
Senja tersenyum mendengar perkataan Edwin. Kakinya mulai berjalan menuju kursi di sebelah tempat tidur yang ia gunakan. Menarik kursi tersebut dengan perlahan dan duduk.
"MDS adalah penyakit yang disebabkan karena produksi sel darah terganggu. Dan harus mendapatkan pendonor darah secara berkala."Senja membaca tulisan yang terpampang di layar handphonenya dengan sedikit keras.
"Terus, darah siapa yang sedang mengalir ini? Bukannya darah ku cukup langka? Kenapa Rani begitu mudah mendapatkannya?"tanya Edwin penasaran.
"Da-darah saya, Om."jawab Senja menunduk.
"Kau sudah berusia berapa? "
"17 tahun."
Kepala Edwin bergerak naik turun, menandakan bahwa dia paham dengan ucapan Senja. Raut wajahnya berubah seketika, sedikit mendongak dan mulut yang menganga. Menandakan dirinya akan wahing. Namun, sedetik kemudian, raut wajahnya berubah seperti semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Raya
Teen FictionFajar ku, tetaplah bersinar menyalurkan kehangatan, dan pergi dengan memberi harapan untuk kembali. Jangan seperti Senja, datang hanya untuk memberi keindahan sesaat, dan pergi memberikan kegelapan. [Revisi setelah ending]