Sebuah Misteri

284 27 2
                                    

Fitri berjalan mondar-mandir karena khawatir dengan suaminya yang tak kunjung pulang. Sedari tadi ia hanya duduk, berdiri lalu berjalan ke kanan dan ke kiri. Raut wajahnya diselimuti dengan kegelisahan. Ia tampak sangat panik. Sesekali dilihatnya jam dinding besar yang terbuat dari ukiran kayu yang berada di ruang tengah rumahnya itu. Sudah pukul 23 : 45. Ia berjalan menuju jendela lalu membuka gorden, dilihatnya ke atas.... purnama nya belum juga hilang. Bahkan bulan tampak sangat merah semerah darah.

"Anda tak tidur, Bu?" tanya seorang bawahan Bagas membuyarkan lamunan Fitri.

Fitri menengok ke arah Aipda Diana, gadis yang berdiri di belakangnya itu seolah mengerti akan kegelisahan yang dirasakan olehnya. Wajah yang anggun nan ayu itu pun tampak bermuram durja.

"Suami saya belum pulang juga, saya khawatir...." desah Fitri sembari mengusap-usap punggung tangannya.

"Kami pun demikian.... tapi percayakan saja semuanya kepada Brigjen Bagas dan Nyi Ratna," tukas Aipda Diana meyakinkan.

Fitri mengangguk malas....tersirat di matanya kegelisahan yang begitu mendalam. Wanita paruh baya itu benar-benar takut kehilangan suaminya terlebih ia sudah kehilangan Bela, putri semata wayangnya.

***
Bagas telah kehilangan akal, ia tak lagi fokus dengan tugasnya. Ia bahkan sibuk dengan dirinya sendiri. Dirinya yang terus menyesali dan merasa bersalah. Kini ia malah berbicara dengan pohon besar yang ada di sana. Ia mengutarakan dosa-dosanya karena telah membunuh Gotam dan tak mampu menjaga putrinya dengan baik. Sesekali ia tertawa seperti orang gila.

Sedangkan Nyi Ratna memuntahkan darah segar. Darah itu mengalir melalui sudut bibirnya. Tubuhnya masih dalam kondisi yang sama, duduk bersila sembari memutar tasbih. Tampaknya Nyi Ratna kuwalahan menghadapi Mbah Jampong. Ia menghentikan tasbihnya untuk ketiga kalinya, tanda bahwa Bagas harus segera mencabut batang-batang bambu kuning itu. Sayangnya, Bagas telah tenggelam dalam penyesalan. Ia menjadi tak waras.

Nyi Ratna merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Bagas rekannya itu....karena sedari tadi Mbah Jampong tak jua hilang dari hadapannya tapi justru semakin kuat yang artinya bambu-bambu kuning itu masih tertancap dengan kokohnya. Ia terus berusaha mengulur waktu mengalihkan perhatian Mbah Jampong. Tubuhnya sudah babak belur akan dendam dan kemarahan dari Mbah Jampong. Ia pun berusaha memanggil Bagas dengan mata bathinnya tapi percuma saja karena Bagas sibuk menangis dan tertawa sendiri.

"Apa yang tengah terjadi kepadamu, Mas?" gumam Nyi Ratna.

"Siapa yang kau tunggu untuk menyelamatkanmu, Nyi? Apa pria gila itu?" sergah Mbah Jampong tertawa nyaring, ia menunjukkan kondisi Bagas kepada Nyi Ratna.

"Tidak!!!" teriak Nyi Ratna menutup mulutnya, ia tak menyangka bahwa Bagas telah gila. Rupanya ia tak kuat membendung semuanya.

"Kau akan mati di tanganku, Nyi!" teriak Mbah Jampong sembari mengunuskan kuku-kuku panjangnya ke dada Nyi Ratna.

Nyi Ratna memuntahkan darah untuk kedua kalinya, kali ini lebih banyak. Pakaiannya telah bersimbah darah.

"Jika aku harus mati sekarang, maka ini adalah takdir yang diberikan Tuhan kepadaku.... uhuk uhuk.... ini adalah penebusan dosaku terhadap Gotam, anakku.... uhuk uhuk...." lirihnya sembari memuntahkan banyak darah.

Tiba-tiba saja air mata memenuhi pelupuk mata Nyi Ratna. Ia menerawang dan melihat wajah Gotam di sana.

"Maafkan ibu, nak....." lirihnya.

Nyi Ratna masih bisa melihat senyum di wajah Gotam sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.

***
Keesokan harinya, tempat itu telah dikerumuni para warga. Mereka saling berbisik menerka-terka apa yang sudah terjadi. Beberapa polisi juga ada di sana. Garis polisi sudah terpampang melingkari tempat kejadian. Sebagian tampak mengamankan seorang pria yang tengah pingsan di bawah pohon keramat di desa itu. Pria itu berwajah pucat, nampaknya itu adalah Bagas. Sebagian lainnya membopong seorang wanita yang bersimbah darah, yang tak lain adalah Laras. Mereka dimasukkan ke dalam ambulans untuk di bawa ke rumah sakit.

Beberapa warga dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Salah seorang dari mereka yang bernama Pak Basir memberi keterangan bahwa ia pernah melihat seorang wanita yang datang dengan mobilnya ke pohon keramat itu. Wanita itu sedang asyik berbicara dengan pohon besar itu dan ketika Pak Basir menegurnya, wanita itu geram dan mengusirnya.

Di lain hari ia juga melihat wanita yang sama datang ke tempat yang sama dan berbicara lagi dengan pohon tapi ia tak lagi menegurnya dan hanya menggelengkan kepala.

Polisi menanyai Pak Basir apakah wanita itu sama dengan wanita bersimbah darah yang tergeletak di sini? Pak Basir menggelengkan kepala. Lalu ketika dua orang polisi menyeret seorang wanita dengan rambut berantakan dan pakaian RSJ, Pak Basir mengatakan bahwa dialah wanita yang dilihatnya. Wanita itu tak lain adalah Fitri.

Polisi belum mendapatkan banyak keterangan terkait dengan kejadian aneh dan janggal yang barusan terjadi di Desa Rawa Pening. Mereka terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan barang bukti. Mereka belum bisa menebak apa sebenarnya yang telah terjadi diantara Bagas, Fitri dan Laras.

Briptu Robi, selaku penanggung jawab atas kasus ini menemukan sebuah kertas yang sudah lecek dan penuh noda darah tergeletak di tempat kejadian. Ia pun membuka kertas tersebut dan membacanya. Rupanya itu adalah sebuah undangan pernikahan.

Bripda Bagas Syaputra dan Larasati.

Tertanggal 1 Februari 2018, tepatnya seminggu yang lalu.

Di Ujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang