Tepatnya hari ini, hari yang dinantikan oleh Nyi Ratna dan Bagas. Malam bulan purnama akan segera datang, sungguh malam yang sempurna untuk sebuah tugas yang berbahaya. Bagas berjalan mondar-mandir karena merasa gelisah menunggu kedatangan Nyi Ratna ke rumahnya. Berulang kali Fitri mencoba meyakinkan Bagas agar tak terlibat dengan hal berbahaya ini tapi rupanya Bagas sudah tertantang untuk segera mengakhiri semuanya. Ia sudah tak tahan lagi membiarkan orang yang disayanginya hidup dalam ancaman ghaib, apalagi sampai merenggut nyawa putri semata wayangnya. Ia tak mau kehilangan lagi.
"Saya mohon, Mas pikirkan sekali lagi. Sebelum terlambat," sergah Fitri tak mau kalah.
"Keputusanku sudah bulat," jawab Bagas singkat, jelas dan padat. Memang begitulah lelaki, ia sama sekali tak paham cara basa basi.
"Tapi mengapa harus Mas sendiri yang turun tangan? Nyi Ratna bisa mengajak orang lain, bukan?" elak Fitri bersikeras tak menyetujui.
"Karena sejak awal saya yang sudah memulainya, maka saya pula yang harus mengakhirinya," tegas Bagas.
Fitri merasa kesal karena sedari tadi ocehannya sama sekali tak menggoyahkan pendirian Bagas. Rasa marah, kesal, gelisah....bercampur menjadi satu, seperti mau meledak!
"Jika Mas tak ingin kehilangan lagi maka begitu pula dengan saya.... saya tak mau kehilangan Mas! Mengapa kau egois sekali hanya memikirkan perasaanmu saja! Saya adalah seorang ibu yang telah kehilangan seorang putri dan saya tak mau menjadi seorang istri yang kehilangan suaminya...." lirih Fitri tak terbendung lagi, air matanya berjatuhan.
Kali ini Bagas menjadi iba terhadap Fitri....ia bingung harus bagaimana lagi meyakinkan istrinya.
"Tak kan ada sesuatu yang akan terjadi pada suamimu, Mbak Fitri...." seru Nyi Ratna dengan senyuman. Tiba-tiba saja ia telah ada di sana dan ikut mendengarkan percakapan mereka.
"Ah, sejak kapan Nyi ada di sini? Maafkan sikap istri saya...." sergah Bagas merasa tak enak.
"Tak apa, wajar jika Mbak Fitri bersikap demikian...."
"Apa Nyi bisa menjamin hal buruk tak kan terjadi pada Mas Bagas?!" sergah Fitri sesenggukan.
Nyi Ratna tersenyum, ia sangat mengerti apa yang dirasakan perempuan yang sebaya dengannya itu. Ia pun menyungging senyum lalu perlahan duduk di sebelah Fitri, dirangkulnya bahu Fitri.
"Percayalah pada saya...." ucap Nyi Ratna sembari menatap mata Fitri dengan penuh keyakinan.
Fitri membalas tatapan Nyi Ratna, ia melihat keyakinan di sana. Ia pun akhirnya mengangguk.
Bagas berpesan pada Fitri agar mengunci semua jendala dan pintu, tak lupa Nyi Ratna membuatkan pagar rumah ghaib agar Fitri aman. Bagas juga mengutus tiga anak buahnya untuk menemani Fitri, satu dari mereka adalah seorang perempuan dan dua yang lainnya adalah laki-laki yang akan berjaga di luar.
Bagas berpamitan setelah memastikan semuanya aman. Fitri pun berharap agar malam ini tak menjadi malam terakhir pertemuannya dengan Bagas. Rasa khawatir itu selalu ada di hati Fitri.
Bagas dan Nyi Ratna telah sampai di TKP, mereka berdiri tepat di depan makam Mbah Jampong. Purnama tepat di atas kepala mereka. Terdengar lolongan anjing saling bersahutan. Bagas meraba leher bagian belakang. Merinding.
"Tak usah takut Mas....Tetaplah fokus dengan apa yang pernah ku sampaikan padamu," seru Nyi Ratna.
Bagas pun ingat bahwa Nyi Ratna pernah berpesan agar ketakutan tak menyelimuti dirinya, jika itu terjadi maka Nyi Ratna tak kan bisa menyelamatkannya. Hidup Bagas tergantung pada dirinya sendiri. Bahkan hidup Nyi Ratna juga berada di tangannya. Ia pun menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa takut yang mulai muncul.
"Purnama akan segera berakhir, kita harus bergegas...." seru Nyi Ratna.
Bagas hanya mngangguk.
"Ingatlah semua yang sudah ku sampaikan kepadamu dan jangan sampai engkau lengah sedikitpun. Jika kau telah siap maka katakanlah.... aku akan segera memulainya," tegas Nyi Ratna.
"Saya siap, Nyi!" tegas Bagas.
Nyi Ratna pun mulai duduk dengan posisi sila, kedua tangannya berada di atas kedua lututnya dan tangan kanannya membawa tasbih.
"Bismillahirohmanirrohim...." ucapnya sebelum mulai memejamkan mata.
Bagas pun ikut mengucap bismillah. Ia mengawasi sekitar sementara Nyi Ratna tengah melakukan ritual. Matanya mengawasi setiap sudut, entah mengapa bulu kuduk di sekujur tubuhnya terasa berdiri. Suara burung hantu sesekali terdengar membuat suasana semakin menyeramkan. Udara dingin menusuk setiap tulang-tulangnya. Bagas teringat percakapannya di mobil dengan Nyi Laras ketika perjalanan menuju Rawa Pening.
"Mengapa kita tak langsung saja mencabut semua bambu itu Nyi?" tanya Bagas sembari tetap fokus menyetir.
"Seperti halnya rumahmu, ada pagar dan juga satpam yang berjaga di sana bukan?"
"Maksud Nyi?"
"Bambu itu adalah pagar Rawa Pening. Setiap bambu ada yang menjaga. Kau tak kan bisa mencabutnya selagi mereka berjaga. Bambu itu akan terasa berat melebihi pohon besar yang tertanam di tanah. Jadi harus ada yang mengalihkan perhatian mereka.... " jelas Nyi Ratna.
Bagas kembali tersadar akan lamunannya, bayangan hitam beberapa kali melintas di belakangnya. Bagas beberapa kali menoleh ke belakang. Bulu kuduknya berdiri. Kemudian ia memejamkan mata. Ia meyakinkan dirinya agar tetap fokus pada Nyi Ratna dan tak menggubris gangguan-gangguan yang datang pada dirinya. Dilihatnya setiap bambu kuning yang tertancap. Entah mengapa ia seperti melihat sepasang mata berwarna merah yang banyak sekali. Ia pun beristighfar, seketika yang dilihatnya hilang.
Fokuslah dan abaikan apapun yang mengganggumu....
Bagas seperti mendengar suara Nyi Ratna yang sedang berbisik kepadanya. Segera ia fokus melihat ke arah Nyi Ratna yang masih memutar tasbih sembari membaca do'a. Tak lama, Nyi Ratna tampak berhenti untuk pertama kalinya.... Bagas ingat itu tanda bahwa rekannya telah berhasil menjumpai para arwah itu. Nyi Ratna telah berhasil masuk ke sana....
Kejutan up nya siang hari hhhhhhh ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Maut
TerrorSequel dari Jerit Pengantin Baru Jika Anda seorang penakut, maka jangan pernah baca cerita ini sendirian!