BAGIAN 8

5.7K 507 17
                                    

Setelah sedikit tenang, Raya mengajakku untuk berkeliling sebentar. Tempatnya bukan di desa tempat kami sebelumnya, desa itu sedikit terpencil dengan jalan beraspal seukuran satu mobil.

Jalan menuju desa yang akan kami tuju melewati tengah-tengah hutan jati. Dari yang kutahu, Raya bercerita jika hamparan hutan jati itu juga merupakan bagian dari keluarga Ramlan.

Mendengar jawaban Raya saat itu membuatku sempat tercegang sesaat. Masih di sela-sela perjalanan, aku yang tentunya berpikir sekaya apa keluarga itu sampai-sampai hutan jati yang tidak terlihat ujungnya itu adalah milik keluarga Ramlan.

"Intine ojo siulan! Terus ojo ngidu sembarangan." (Intinya jangan bersiul! Terus jangan meludah sembarangan.) Kata Raya saat itu.

Semakin kedalam, nampak pemandangan yang sedikit terasa aneh. Banyak pohon jati dengan ukuran yang sangat besar melebihi ukuran pada umumnya. Dan di setiap pangkal pohon kayu jati itu terdapat kain berwarna emas yang dengan sengaja di lilitkan, memang suasananya sangat teduh serta terkesan asri.

Namun, dalam suasana sepi dan terlihat tenang di hutan jati tersebut. Aku merasakan jika sedang berada di tengah-tengah keramaian. Kemudian terlihat papan peringatan yang menunjukkan bahwa pengguna jalan tidak boleh melebihi batas kecepatan dari 40Km per jam. Papan peringatan tersebut tentu membuatku bertanya-tanya, pasalnya jalan yang kami lalui sangat sepi. Hanya beberapa kali kami bersimpangan dengan truk-truk yang memuat hasil perkebunan.

Tidak jauh dari papan peringatan tadi, ada lagi satu papan peringatan yang berbentuk persegi. 'Di larang membunuh satwa liar tanpa terkecuali!' begitulah tulisan yang tertulis di papan peringatan.

Setelah melewati hutan jati, mataku di buat takjub oleh peradaban desa yang bisa di bilang sangat maju. Bangunan rumah-rumah penduduk yang sangat besar, dengan corak bangunan mengunakan adat Jawa.

Sangat berbanding terbalik dari kata-kata Raya yang ia bilang desa terpencil. Kemudian kami memasuki sebuah pintu gerbang besar, setelah itu menyusuri jalan berpaving dengan pohon Jambe di sepanjang jalan.

Ada satu rumah dengan bahan yang kesemuanya memakai kayu jati lengkap dengan ukiran-ukiran huruf aksara Jawa. Di samping rumah tersebut juga terpadat satu pendopo dengan ukuran besar. Pendopo tersebut berada di atas kolam ikan koi, lengkap dengan delapan pilar beton yang menyangga bangunan.

Seorang perempuan paruh baya langsung menyapa kami dengan senyuman sumringah saat itu, "loh, anakku moleh." (Loh, anakku sudah pulang.)

Setelah turun dari motor kami berdua bergantian mencium punggung tangan wanita yang di panggil Umik oleh Raya tersebut. Beliau juga mengusap bagian atas kepalaku dengan lembut, persis seperti perlakuan ibu kepada anaknya.

"Iku, Abah nek pendopo," (itu, Abah di pendapa,) lanjut Umik sambil menunjuk pendopo besar di hadapan kami berdua. Kemudian beliau bergegas memasuki rumah sambil menaruh sapu lidi di sisi kanan depan rumah.

Saat itu aku masih belum mengerti maksud Raya dengan mengajakku mendatangi rumah Abahnya. Setelah menaiki beberapa tangga yang juga terbuat dari papan kayu jati, kami sudah berada di bagian depan pendopo.

Di dalam pendopo nampak seorang lelaki tua yang mengenakan sorban putih, duduk bersila dengan khusyuk berdzikir sambil terus memutar tasbih di tangan kanannya.

"Assalamualaikum ..., Abah." Ucap Raya dengan nada sangat santun kala itu.

Lelaki yang di panggil Raya dengan sebutan Abah itupun langsung menghentikan dzikir dan terlebih dahulu menutup dengan membaca surat Al-fatihah.

Saat beliau menoleh ke belakang, nampak wajah cerah dan segar dari lelaki yang umurnya hampir 60 Tahunan itu, rambut dan jenggotnya mulai memutih karena uban.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang