Tentang kejadian pak De Kus yang benar-benar pulang ke rumahnya seperti kata mas Maman waktu itu masih terekam sangat jelas di ingatanku.
Pakde Kus pulang tak terduga dengan cara yang tak lazim, aku dan Raya yang saat malam itu sengaja kembali memasuki rumah hanya untuk memastikan kebenaran atas apa yang di katakan mas Maman, di buat tercengang dengan kejadian di dalam rumah saat kepulangan pakde Kus yang menyerupai sosok pocong. Layaknya orang yang baru saja bangkit dari kematian, pakde Kus berjalan tanpa menatap ke arah kami berdua malam itu. Pakde terus berjalan kesulitan menuju kamarnya.
Setelah memasuki kamarnya, pakde Kus hanya duduk diam di tepi ranjang sambil bergumam tak jelas. Kedatangan pakde Kus yang masih memakai kain kafan kotor malam itu membuat nyali kami berdua seakan menciut berserta munculnya rasa ketakutan yang teramat sangat.
Bahkan, untuk bergerak sedikit saja dari tempat kami saat itu sangat susah. Kejadian tersebut seolah-olah sangat nyata, meski tidak ada tanda-tanda dari pakde yang hendak menyakiti kami berdua. Tetapi, kepulangan pakde malam itu membuat rasa trauma atas ketakutan dalam diri kami berdua semakin bertambah besar.
Semalaman badan Raya panas dingin, tubuhnya mengigil seperti kedinginan kondisi Raya saat itu mengharuskan aku untuk merawatnya. Berbagai macam obat demam sudah kucoba untuk meminumkan-nya kepada Raya, tetapi demam di badannya tak kunjung turun.
"Ray, aku anterin kamu ke puskesmas yah? Setelah itu aku anterin kamu pulang." Kataku lirih sambil mengusap kening Raya.
Demam di badannya tak kunjung turun, aku bingung harus berbuat apa lagi untuk membantunya. Semua yang solusi yang kutawarkan kepadanya selalu di tolak dengan menggelengkan kepalanya pelan.
Seperti siang itu, saat kutawarkan solusi untuk membawanya ke puskesmas, Raya langsung menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Nafasnya memburu, membuat bagian perutnya kembang kempis.
Hari itu, bibi Raya tidak membuka warung karena harus menghadiri acara khitanan di keluarga suaminya.
Keadaan semakin terasa kacau saat badan Raya yang saat itu terasa lemah hanya terdiam dengan posisi tidur miring ke samping. Beberapa saat kemudian Raya memuntahkan banyak cairan berwarna kuning dengan bau tak sedap.
Cairan yang di muntahkan Raya saat itu berceceran di lantai kamar warung, kepanikan langsung terjadi padaku dengan kondisi Raya saat itu.
Beruntungnya, Lena datang setelah aku memberikan kabar mengenai kondisi Raya saat itu. Kehadiran Lena saat itu bukannya membuat suasana menjadi tenang, tetapi malah membuat diriku panik hingga bolak balik keluar hanya untuk membeli obat.
Di tambah lagi dengan tidak adanya sinyal ponsel di desa, jikapun ada pasti aku segera mencari solusi untuk jalan keluar agar kondisi Raya membaik.
Entah untuk keberapa kalinya aku keluar masuk warung hanya untuk mencari obat-obatan, demi kesembuhan Raya.
"Napo repot-repot, di gowo nang omahe abah'e Raya ae loh. Lak langsung waras." (Ngapain repot-repot, di bawa ke rumahnya Abah saja. Pasti langsung sembuh.) Ujar Lena dengan nada entengnya, tidak memperdulikan aku yang saat itu kebingungan.
"Kenapa nggak dari tadi?" Kataku agak kesal. Sambil menunjukkan dedaunan yang kupetik di belakang warung tadi atas permintaan Lena.
Dedaunan tersebut terdiri dari, daun serai, daun kemangi, dan juga daun pandan. Saking paniknya, aku sampai tak sadar telah di buat gila dengan ide Lena yang menyarankan untuk mengambil dedaunan tersebut.
"Gampang! Deleh kene disek, engkok lek Ninik lak butuh a Ri." (Gampang! Taruh di sini dulu, nanti Bibi Ninik pasti membutuhkannya Ri.) Jawab Lena enteng, sambil menunjuk pada dedaunan yang sudah kuremas karena kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMEDON MANTEN
Horror#2 in Horor Tentang sebuah cerita masa lalu yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah teror hantu wanita yang tidak lain adalah Murti, kakak sepupuku itu meninggal satu jam sebelum melakukan akad nikah. Saat malam datang, suara nyanyi...