BAGIAN 3

7.3K 583 37
                                    

Ketika sinar matahari mulai menyeruak masuk melalui celah-celah kamar, dengan sinarnya yang menyilaukan mata.

Setelah bangun dari tidur yang kurasakan belum lama itu, di ruang tamu, kudapati pak De Awing bersama si Mbok tengah berbincang serius. Saat itu, raut wajah pak De terlihat cemas.

Saat mereka sadar dengan kehadiran diriku, si Mbok terlihat membuang muka sambil menyeka air matanya. Sementara pak De yang duduk di sebelahnya mengganti ekspresi wajahnya dengan senyuman kaku, dan aku pun tahu bahwa ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.

"Mbok, arep nang tegal. Riri nek ape maem nek mejo pawon." (Mbok, mau ke ladang. Riri kalo mau makan sudah siap di meja dapur.) Kata si Mbok menunduk, menyembunyikan kedua matanya yang tengah berkaca-kaca.

Lalu, di luar rumah terlihat pak De Awing sedang menyirami sekeliling rumah dengan air bekas cucian beras.  Sebelum pak De berpamitan untuk bekerja, beliau berpesan agar aku tidak keluar rumah saat magrib datang.

Di meja makan sudah tersedia sepiring nasi beserta sedikit sayur lodeh sisa kemarin. Jujur saja, aku tidak terbiasa makan mengunakan sayur inap bekas kemarin.

Terlihat juga beberapa lauk, seperti ikan pindang dan tempe yang masih belum sempat di olah. Mungkin si Mbok buru-buru pergi ke ladang karena menyembunyikan kesedihannya atas apa yang menimpa Mbak Murti.

Bagian dapur rumah masih mengunakan dinding dari anyaman bambu yang di balur oleh gamping berwarna putih. Seluruh perabotan dapur tertata rapi di lemari serta wuwung dapur, tetapi di dapur tidak ada kompor gas, hanya ada sebuah tungku dengan dua lubang.

Berbeda dengan rumahku di kota, di desa tempat si Mbok masih mengunakan alat-alat dapur yang masih belum modern. Alat tumbuk dari batu bulat dengan lubang di bagian tengah yang biasa di sebut lumpang, serta gentong dari bahan tanah liat berisi air penuh yang di tutupi nampan berwarna hitam.

Dan juga kayu bakar kering yang sudah siap untuk di gunakan tertumpuk rapi di sebelah tungku. Kuputuskan untuk memasak ikan pindang serta memasak sayur sawi yang di beli si Mbok dari pedagang sayur keliling saat pagi.

Memasak menggunakan tungku tidak semudah yang kupikir. Berkali-kali juga aku gagal menyalakan air ke dalam tungku, beruntungnya saat aku dalam kesulitan Raya datang di saat yang tepat.

Anak pak Kades itu berniat untuk menjengukku setelah ia mendengar apa yang kualami semalam dari mas Maman. Waktu pertama kali datang, Raya tertawa terbahak melihatku yang berulang kali gagal menyalakan api.

Saat sambal bumbu merah yang sudah kubuat mengunakan bumbu siap saji selesai, Raya menyuruhku untuk membuat bumbu baru. Alasannya si Mbok tidak pernah memasak menggunakan bumbu tambahan seperti penyedap rasa.

Dari situ aku mulai belajar menggunakan bumbu racikan alami dari bahan mentah dan garam. Memasak menggunakan bahan alami sangat ribet, serta njelimet.

"Assalamualaikum ...!"

Terdengar suara pria dari depan rumah mengucapkan salam sambil mengetuk pintu pelan.

Saat pintu kubuka, seorang pemuda dengan tinggi badan kira-kira 170cm sudah tersenyum ramah padaku. Di tangannya terdapat seikat bunga mawar merah. Bukan! Itu bukan bunga mawar melainkan seikat daun kelor yang kusangka seikat bunga mawar karena mataku terfokus menatap wajah putih rupawan pemuda tersebut.

"Mbak, mbak, hoi ...," Suara pemuda di depanku saat itu menyadarkan diriku dari lamunan. "Iki pesenane si Mbah." (Ini pesanannya si Mbah.) Kata pemuda berkulit putih tersebut sambil menyodorkan-nya padaku.

"Eh, iya." Jawabku kaku salah tingkah.

Tidak ada salam perkenalan saat itu, setelah menyerahkan seikat daun kelor, pemuda tersebut langsung bergegas menuju mobil bak terbukanya kemudian berlalu.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang