EPILOG

6.4K 539 83
                                    

Setelah di ambilnya tali kafan bagian tengah milik mbak Murti. Awalnya kupikir teror benar-benar sudah selesai, namun, yang terjadi justru berbalik kepada diriku.

Tak terlalu jelas yang kuingat karena semua terasa sama saat terjadi. Sebuah lorong kecil nan gelap yang kuingat, karena hanya itu yang tersisa dalam ingatanku.

Sesosok makhluk tua berambut putih panjang berbadan kurus renta keluar dari dalam lorong yang kulihat saat itu. Mahkluk tersebut keluar dari dalam lorong gelap dengan cara merangkak cepat. Kemudian tangan ringkih menyisakan tulang milik mahkluk itu menyeret tubuhku memasuki lorong tempat ia keluar.

Tak ada yang bisa ku perbuat saat itu, tubuhku terasa kaku tanpa bisa bergerak seolah-olah badan ini bukan milikku lagi saat itu.

Dinding beton hampa udara dengan suhu yang amat dingin menjadi saksi bisu atas apa yang ku alami. Dindin beton di kanan kiri lorong tersebut layaknya sebuah bangker tua berlumut, setelah melewati lorong gelap dan panjang tubuhku di lempar ke sebuah ruangan berbentuk persegi.

Ruangan kecil dan lembab tersebut hanya diterangi sebuah lilin kecil yang di letakkan di lantai. Ada pemandangan yang tak biasa terlihat di dalam ruangan tersebut, seluruh badanku terasa lemas seluruhnya tak percaya dengan apa yang saat itu kulihat.

Seorang gadis berambut panjang dengan bagian leher terpasung kayu. Kedua tangannya diikat rantai besar, pada kedua kakinya juga terdapat pasung kayu yang membuat pergerakannya terbatas.

Bahkan kondisi badannya sangat berantakan, seluruh badannya kotor dan basah oleh cairan lendir merah. Dan yang membuat diriku kaget sampai tak bisa berpikir lagi adalah, sosok gadis tersebut adalah diriku.

Jantung dan pernafasan dalam diriku sudah tak terasa lagi saat aku mengetahui jika sosok gadis yang kulihat itu adalah diriku.

===

Sedangkan di tempat lain menurut cerita dari Raya saat menceritakan kejadian yang kualami saat itu adalah.

Semua orang terkejut karena tiba-tiba  tatapan mataku kosong tak terlihat aura kehidupan yang terpancar di wajah. Semua orang yang berada di sekitar menjadi panik seketika terutama ibuku.

Dari ruang berdinding beton hampa udara tempatku berada saat itu sayup-sayup terdengar suara gamelan Jawa. Alam bawah sadarku memaksa diriku untuk merasakan setiap detail rasa sakit yang menjalar.

***

Hari dan bulan penanggalan Jawa saat itu bertepatan dengan bulan Mulud, yang artinya bulan larangan untuk melangsungkan pernikahan.

Namun, Vino yang saat itu mendapat firasat buruk kepadaku ngotot untuk melangsungkan pernikahan saat itu juga.

Akhirnya setelah kedua keluarga bertemu dan membahas lebih dalam lagi tentang pernikahan, terlebih lagi menyangkut nyawaku. Vino tetap bersikukuh dengan niatnya meski keluarganya melarang keras dan menyarankan untuk membatalkan pernikahan.

"Le, ulan iki ulan soro! Opo awakmu kiro-kiro kuat?" (Nak, bulan ini sengsara! Apa kira-kira kamu kuat?) Tanya pakde Awing meyakinkan Vino untuk memikirkan ulang niatannya.

"Nanti kalo sudah waktunya kami berdua akan bangun nikah lagi pakde De," jawab Vino kukuh pada pendiriannya sambil menyebutkan alasannya. Sesuatu yang tidak ku ketahui adalah orang Jawa bisa melakukan bangun nikah kembali jika rumah tangga mereka di rasa berat sebelah, meski tidak menjadi suatu keharusan bangun nikah merupakan cara yang relatif ampuh untuk kembali membina rumah tangga.

Pakde dan si Mbok memasrahkan semuanya pada keputusan ibu, karena saat itu aku sudah seperti orang linglung. Kata Raya aku lebih banyak berdiam diri di dalam kamar tanpa banyak bicara, meski sesekali menjawab pertanyaan orang terdekat jawaban yang keluar dari mulutku sama sekali tidak nyambung.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang