BAGIAN 16

4.8K 425 21
                                    

Hari hampir siang selama itu juga pintu kamar tempatku berada di tutup rapat dari luar. Aku tidak boleh keluar kamar dengan berbagai alasan yang tak masuk akal, sempat kulihat mimik wajah Ibuku menyiratkan ketakutan yang sengaja di sembunyikan setelah berbicara dengan si Mbok tadi.

Kira-kira sehabis lohor atau yang biasa kita tahu habis duhur ibu memasuki kamar, ia masih mencoba menyembunyikan rasa sedihnya.

Setelah memasuki kamar kemudian Ibu mulai berbalik badan hendak menutup pintu. Namun, aku tahu jika ibu juga sedang menyeka air matanya agar tak kelihatan olehku.

"Buk ...,"  Aku ingin tahu apa yang te jadi padanya sehingga membuatnya terlihat sedih.

"Anakke ibuk wes gede yo?" (Anak ibu sudah besar yah?) Ibu mulai mendekat ke arahku kemudian duduk di sebelahku persis.

"Kenapa nangis? Ada apa?" Pertanyaan demi pertanyaan yang kuajukan tak di gubrisnya, sesaat kemudian ibu mulai merangkul serta memelukku erat.

Setelah itu kami berdua larut dalam kesedihan, dan aku tak percaya dengan kebenaran yang telah lama di sembunyikan seluruh keluarga besar dari ayahku. Kenyataan yang membuat hati terasa perih saat mengetahuinya, sebuah kenyataan yang membuatku terdiam saat mendengarnya karena semua yang ibu katakan terasa berat untuk kuakui.

***

"Mbak Mila tahu kabar Raya?" Tanyaku pada sosok gadis rupawan anak pakde Awing yang menemaniku di dalam kamar.

Saat itu aku akan di pingit lebih tepatnya di sembunyikan di dalam kamar selama tiga hari tiga malam, dan selama itu aku tidak boleh keluar sama sekali.

"Haaah ...," Mbak Mila menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. "Luwih parah teko seng tak bayangno, awake Raya wes kuning." (Lebih parah dari yang kubayangkan, badan Raya sudah menguning.) Lanjutnya memalingkan wajah ke arah cermin.

Mendengar hal itu membuatku ingin segera keluar dari rumah dengan segera. "Mbak, aku ingin keluar Raya butuh bantuan dariku!" Kucoba untuk menjelaskan padanya, agar mbak Mila mengijinkan diriku untuk keluar menemui Raya.

"Ora iso Ri, keluarga wes sepakat kabeh, Iki dalan siji-sijine gawe nyelametno awakmu ngertio talah." (Tidak bisa Ri, semua keluarga sudah sepakat, ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan kamu tolong mengertilah.) Jawab Mbak Mila menolak permintaanku.

"Tapi Mbak ...,"

"Wes, gak onok tapi-tapian! Timbang dadi molo," (sudah, tidak ada tapi-tapian! Ketimbang jadi petaka,) sela Mbak Mila memotong ucapanku.

"Tolong Mbak kali ini saja, ijinkan aku menolongnya karena dia sedang menungguku." Perasaanku mulai cemas dengan terus memikirkan Raya yang masih tersesat di alam lain.

Mbak Mila menatap tajam ke arahku pandangan matanya terfokus pada kedua mata hitam milikku. "Awakmu eroh carane?" (Kamu tahu caranya?)

"Tahu! Bude Ratna yang memberikan petunjuk sebelum aku sadar, karena bude Ratna juga yang menolongku." Jawabku bersemangat berharap Mbak Mila berubah pikiran untuk menolong diriku keluar dari dalam rumah.

"Entenono, engkok tak kei kode tapi janji yo cuman gae nolong Raya tok." (Tunggu sebentar, nanti aku kasih kode tapi janji hanya untuk membantu Raya saja.) Mbak Mila berkata sambil keluar kamar.

Saking lamanya aku menunggu kabar dari Mbak Mila, hingga bantal dan kasur ku cabik-cabik saking kesalnya terlalu lama menunggu. Sehabis adzan sholat isya, pintu kamar di ketuk dari luar dengan pelan.

Kutahu jika suara ketukan tersebut karena ulah Mbak Mila yang sedari tadi mondar mandir. Setelah aku melangkah mendekat lalu mendekatkan telinga ke arah pintu mbak Mila berkata lirih dari luar, "setengah jam maneh." (Setengah jam lagi.)

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang