***
Si Mbok dan pak De Awing sengaja menutupi kematian Mbak Fika saat itu. Entah apa maksud mereka menutupi kematian mbak Fika dariku.
Tetapi, aku sadar jika raut wajah mereka menampakkan mimik wajah yang gelisah. Setelah pak De Awing pamit undur diri dengan alasan ada keperluan mendesak, si Mbok bolak balik keluar masuk rumah.
"Ada apa toh Mbok?" Tanyaku khawatir karena saat itu si Mbok terlihat gelisah, meski si mbok mencoba untuk tetap tenang.
"Ora, ora onok opo-opo, Nduk." (Tidak, tidak ada apa-apa, Nak.) Nada suara si Mbok nampak berat saat menjawab.
Si Mbok masih berusaha menutupi kebenaran saat itu, di satu sisi aku sudah tidak tahan dengan kondisi yang sedang terjadi saat itu.
Saat yang kutunggu-tunggu datang, ketika si Mbok melaksanakan sholat duhur. Pelan-pelan aku mulai turun dari ranjang agar si Mbok tidak mendengar suara langkah kakiku saat itu.
Pikiranku terfokus untuk menemukan jawaban dari semua masalah yang terjadi di ketika aku baru sampai di desa ini. Beberapa saat kemudian Raya datang menjemput di pos ronda, setelah aku menelfonnya terlebih dahulu.
"Onok opo? Kok koyok penting eram?" (Ada apa? Kok kayaknya penting sekali?) Tanya Raya sambil memasang wajah penasaran.
"Kamu sadar nggak? Semua yang terjadi pada keluarga pak De Kus bertepatan dengan kepulanganku lima hari yang lalu kan?) Jawabku sambil menghempaskan punggung pada tiang bangunan pos ronda.
Raya menatapku penuh selidik, ia menoleh kanan kiri pada jalan desa. "Ojo nek kene, ayo golek pangon liyo ae," (jangan di sini, ayo kita cari tempat lain saja,) jawab Raya dengan menaiki jok motornya.
Kami berdua menuju salah satu tempat yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Dalam perjalanan Raya menyuruhku untuk menghubungi Lena yang saat itu sedang membantu ayahnya mencari rumput untuk pakan ternak.
Kami bertiga memasuki bangunan rumah tua yang sudah lama tidak berpenghuni, rumah itu berbeda karena bentuknya bukan persegi, melainkan bulat. Ada dua bangunan yang sama persis, dengan cendela yang sama-sama memakai penghalang besi teralis besar.
Raya lebih dahulu memasuki bangunan rumah di sebelah kanan di ikuti oleh Lena dan aku paling belakang. Di dalam rumah hanya ada tiga ruangan, dua ruangan bekas kamar dan satu ruangan terletak di belakang yang di gunakan sebagai dapur.
Setelah itu, kami mulai berjongkok membentuk lingkaran di ruang tengah rumah tersebut. Nyaris tidak di temukan benda selain coretan nama-nama seseorang yang lebih dahulu memasuki rumah sebelum diriku.
"Piye? Wes siap?" (Gimana? Sudah siap?) Tanya Raya sambil memandang ke arahku di ikuti Lena yang berada di samping kami berdua.
Kuanggukkan kepala pelan tanda sudah siap mendengar kejadian yang sebenarnya dari cerita Raya dan Lena saat itu, meski itu hanya cerita menurut sudut pandang mereka berdua, aku sangat menantikan jawaban atas apa yang menimpa keluarga pak De Kus dan diriku.
"Pak De mu Kus iku, mbiyen tau ujar medot tali saduluran karo bapakmu Ri." (Pak De kamu Kus itu, dulunya pernah berujar dengan bersumpah memutuskan tali persaudaraan dengan bapak kamu Ri.) Kata Raya memulai percakapan.
"Nah, sumpahe iku nek barang sing wingit! Opo maneh sampek ngowo nyowo sak keluargane, mbuh, saking loro atine sampek ngae sumpah koyok ngunu iku!" (Nah, sumpahnya itu pada barang yang Wingit! Apa lagi sampai membawa nyawa satu keluarganya, mungkin, saking sakit hatinya sampai mengucapkan sumpah seperti itu!) Tambah Lena, sambil menuangkan kopi yang ia bawa bekas kiriman bapaknya saat mencari rumput.
"Lalu, apa yang membuat pak De Kus membuat sumpah seperti itu?" Tanyaku penasaran.
"Ibukmu! Ibukmu biyen di senengi pak De mu, tapi karena dalan uripe pak De mu nyelentang, opo maneh ibukmu gak seneng karo pak De mu sadurunge. Mangkane luwih milih bapakmu seng biyen wes kerjo nek kebon kopi." (Ibumu! Ibumu dulu di sukai oleh pak De, tetapi karena jalan hidupnya yang aneh, di tambah lagi ibumu tidak menyukai pak De mu sebelumnya. Makanya lebih memilih ayah kamu yang dulunya sudah bekerja di kebun kopi.) Jawab Lena kemudian menyeruput kopi setelah ia tuang pada gelas plastik bekas minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMEDON MANTEN
Horror#2 in Horor Tentang sebuah cerita masa lalu yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah teror hantu wanita yang tidak lain adalah Murti, kakak sepupuku itu meninggal satu jam sebelum melakukan akad nikah. Saat malam datang, suara nyanyi...