Malam kian sunyi dan terasa mencekam. Kami bertiga berlari kecil menuju rumah si Mbok, jam digital yang melingkar di tangan kananku sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Semakin jauh kami berlari, suara tangisan yang terdengar di kejauhan masih terdengar jelas. Suara tangisan itu seakan mengikuti kemanapun langkah kaki pergi, keluar dari area pemakaman terdapat jalan lurus seukuran satu mobil. Kemudian terdapat pertigaan jalan desa yang kira-kira berjarak 50 meter dari area kuburan desa.
Sebuah pemandangan yang membuat nyali kami bertiga semakin menciut, serta hilangnya sisa tenaga kami secara bersamaan saat Raya yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya, sebelum berbelok ke kiri pada pertigaan jalan desa.
Suara lonceng yang terdengar jelas di kejauhan dengan ritme yang pelan beraturan. Membuat darah dalam diriku berdesir naik sampai ke ubun-ubun, juga, bersamaan dengan berdirinya semua bulu halus di seluruh tubuh.
Kami terdiam, dengan mata yang sama-sama mengarah pada ujung jalan sebelah kiri, jalan yang akan kami lewati. Karena hanya jalan tersebut satu-satunya jalan utama menuju ke arah desa.
Cahaya kuning redup dari lentera, nampak melayang pelan ke arah kami. Malam yang sunyi dengan suasana penuh keheningan itu, semakin terasa mencekam dengan terlihatnya cahaya kuning dari lentera.
Semakin lama, cahaya lentera tersebut semakin mendekat ke arah kami. Detak jantung yang sudah tak beraturan, serta tarikan nafas yang terasa berat. Entah kejadian apa lagi yang akan kami lihat malam itu, saat suara lonceng semakin jelas terdengar. Juga, terdengar suara banyak pasang kaki yang berjalan pelan beriringan ke arah kami.
Suasana malam itu sangat gelap, rembulan di langit malam sudah tertutup oleh awan hitam, entah sejak kapan. Saat cahaya lentera itu semakin terlihat dengan jelas, kami melihat banyak bayangan hitam yang berjalan di belakang lentera tersebut.
Deg!
Sekilas, sebelum Raya memaki Lena karena mengarahkan cahaya senternya pada orang yang memegang lentera di tangan kanannya. Mataku melihat jelas wajah seorang lelaki berkulit pucat dingin, dengan pandangan kosong berjalan pelan paling depan sambil memegangi lentera.
"Goblok! Awakmu pingin mati?" (Goblok! Kamu ingin mati?) Maki Raya sambil memukul tangan kanan Lena yang memegang senter.
Sadar dengan apa yang sedang terjadi saat itu, Lena segera mematikan cahaya senternya.
Suara lonceng yang mengiringi langkah satu rombongan itu masih terdengar sangat jelas. Raya menggenggam tanganku erat, kami bertiga sama-sama merasakan ketakutan dalam diri masing-masing.
Semakin kucoba untuk tetap tenang, gemetar di badan semakin kencang tanpa bisa kucegah. Rombongan dengan banyaknya orang yang berjalan beriringan itu kemudian melewati kami bertiga. Saat itu baru keketahui jika rombongan tersebut merupakan rombongan arak-arakan Manten.
Tak bisa ku-ungkapkan bagaimana ketakutan dalam diriku saat itu, saat kulihat wajah yang sangat familiar berjalan pelan dengan baju pengantin Jawa di belakang orang yang memegang lentera tersebut adalah Mbak Murti.
Iring-iringan rombongan pengantar pengantin itu terdiri dari empat baris, mirip seperti anak-anak sekolah yang melaksanakan lomba baris berbaris saat Agustus. Di kanan kiri orang yang membawa lentera itu terdapat dua orang yang usianya jauh lebih muda, mereka berdua sama-sama memegang kembang mayang.
Kemudian di barisan belakang dan seterusnya, terdiri dari pria dan wanita. Dengan pandangan kosong yang mengarah ke depan, mereka terus berjalan pelan melewati kami tanpa menoleh. Seolah-olah kami bertiga tidak berada di sana saat itu.
Baru beberapa langkah mereka melewati kami, tubuhku terasa sangat lemas. Hingga aku terjatuh dengan posisi duduk di atas tanah yang tadinya sebagai pijakan kaki sambil memegangi bagian dada yang terasa sempit.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMEDON MANTEN
Horror#2 in Horor Tentang sebuah cerita masa lalu yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah teror hantu wanita yang tidak lain adalah Murti, kakak sepupuku itu meninggal satu jam sebelum melakukan akad nikah. Saat malam datang, suara nyanyi...