BAGIAN 9

5.3K 446 22
                                    

Untuk kedua kalinya aku bersama Vino berpapasan dengan rombongan pengantar jenazah yang hendak menuju arah pemakaman.

"Tutup aja mata kamu kalo nggak mau lihat." Ucap Vino saat mengetahui aku menyembunyikan pandangan ke arah samping.

Ada semacam rasa yang tidak bisa kujelaskan saat melihat keranda mayat yang di tandu oleh empat orang, apa lagi saat melihat kerambu hijau yang bergoyang pelan saat di tandu oleh empat orang.

Salah satu orang yang mengantar jenazah menatap ke arahku, dia adalah pak De Awing. Namun, saat mata kami berdua saling berpandangan, pak De langsung menundukkan kepalanya seolah tidak ingin melihatku.

Hal itu tentu membuat tanda tanya di benakku, mungkin keluarga dari ayah benar-benar tidak menginginkan kehadiran diriku di desa saat itu. Dan aku tidak punya pilihan lain, selain menetap dan menyelesaikan semua masalah yang terjadi, karena kedua orang tuaku pun tidak luput dari petaka. Bude Ratna menginginkan keluargaku mati, kehadiran diriku yang pulang kembali ke desa adalah sebuah takdir yang harus kujalani.

Setelah rombongan pengantar jenazah berlalu, Vino kembali melajukan pickup biru tuanya secara perlahan. "Kita mau kemana ini?" Tanyaku penuh selidik pada Vino, karena jalan menuju warung bibi Raya adalah arah yang sebaliknya.

"Ke rumah kang Deva dulu sebentar, mau ambil titipan dari kantor." Jawab Vino enteng. "Lagian kamu juga melihatnya lapar," lanjut Vino saat aku hanya memberikan jawaban dengan ekspresi wajah malas.

"Aku nggak lapar!" Jawabku berbohong, meski sebenarnya aku sangat kelaparan pagi itu.

Tidak berapa lama, kami sudah sampai di rumah Mas Deva yang kutemui waktu itu. Vino segera memarkir pickup-nya di samping halaman rumah Mas Deva.

Vino yang baru keluar dari pickup langsung berbincang dengan seorang perempuan berpawakan tinggi. Perempuan tersebut adalah istri dari Mas Deva, tadi saat Vino memaksa aku untuk ikut turun bersamanya, aku bersikeras menolak karena sungkan dan malu.

Sedikit menyesal juga telah menolak ajakan Vino karena gengsi, akibatnya aku harus menahan lapar di dalam mobil sambil memegangi perut yang terasa lapar.

Doaku terkabul saat istri Mas Deva menghampiri diriku, dengan tutur lembut ia mengajakku memasuki rumahnya. Kurang sopan katanya kalo tidak mampir dahulu jika sudah berkunjung.

Di dalam rumah, tepatnya di ruang keluarga. Sudah kudapati Vino bersama Mas Deva duduk di depan meja yang sudah tersaji masakan mengundang rasa lapar.

Seperti dugaanku, pemilik rumah akan memaksa untuk sarapan bersama meski aku mencoba berbasa basi menolak dengan alasan masih kenyang.

***

Hari itu badanku terasa letih, lemas di sekujur badan yang kurasakan tak kunjung hilang. Setelah meminum obat yang di belikan Raya di toko obat terdekat, kantuk langsung terasa saat itu. Mungkin badanku benar-benar lelah dengan apa yang kulalui selama di desa itu.

***

Sayup-sayup terdengar suara gamelan di tengah malam, suaranya terdengar jauh. Namun, sangat jelas terdengar di kedua telinga.

Hawa di dalam warung terasa pengap saat itu, suara gamelan yang menandakan pertemuan pengantin Jawa masih terdengar jelas.

Setelah membuka jaket karena hawa yang di rasakan tubuhku amat panas kala itu. Mataku mulai mencari-cari keberadaan Raya di sebelahku, saat kutemukan Raya tengah tertidur di sampingku sambil memeluk guling hatiku terasa tenang. Kemudian kupastikan dengan memencet hidung Raya, ia terlihat susah bernafas.

Lewat celah jendela kayu kamar di dalam warung. Aku mulai memperhatikan sekitar warung di arah luar. Sepi, dan terlihat sunyi malam itu. Di luar sana tidak kulihat hal mencurigakan, hanya saja suara gamelan itu terus terdengar berulang-ulang.

Tenggorokan terasa kering, kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidur menuju dapur hendak mengambil segelas air putih.

Bibi Raya yang mempunyai warung sudah pulang pukul delapan malam tadi, dan saat itu hanya aku dan Raya saja yang menempati warung.

Sambil memikirkan suara gamelan itu berasal perlahan kutuang air ke dalam gelas. Keanehan kembali kualami saat itu, setelah gelas terisi air dan hendak kuminum bibirku tidak merasakan basah karena ternyata gelas masih kosong, padahal aku yakin jika gelas sudah terisi air tadinya.

Kembali kuulangi menuang air dari dalam ceret ke dalam gelas yang kugengam. Gelas memang terisi penuh, tetapi saat kuminum hanya setegak yang kurasakan. Karena saking hausnya, kembali kuangkat ceret berisi air putih yang tadinya terisi penuh oleh air. Saat itu sudah terasa enteng, seakan air dalam ceret sudah habis.

Nafasku mulai tersengal saat mengetahui ada yang tidak beres sedang terjadi. Baru saja aku berbalik hendak berlari kembali ke kamar, langkah kakiku terasa berat dengan suara air dari dalam ceret yang sedang di tuang ke dalam gelas.

Deg!

Suara air dari dalam ceret yang sedang di ruang ke dalam gelas itu seakan tidak ada habisnya. Di iringi suara tawa dari luar warung, suara tawa cekikikan itu sangat keras. Seolah wanita yang sedang tertawa tersebut tengah menertawakan apa yang terjadi padaku.

Suara tawa cekikikan seketika berubah menjadi suara tangis yang terdengar amat pilu. Jelas sekali suara itu berasal dari balik dinding anyaman bambu warung. Logikaku ingin menolak semua yang tengah terjadi saat itu, saat sekelebat bayangan wanita berjalan di dalam warung membuat rasa ketakutan yang kurasakan semakin besar.

Badan sudah gemetar tak karuan dengan sendirinya, tiba-tiba lampu warung menyala. Raya muncul sambil menyibakkan tirai yang menutupi bagian depan dan dapur warung.

"Lapo? Luwe?" (Ngapain? Lapar?) Tanya Raya sedang menahan rasa kantuknya, kedua matanya merem melek karena tak kuasa menahan kantuk.

Langsung aku mengelangkan kepala pelan, meski raut wajahku sudah menandakan ketakutan. Raya nampak acuh, kemudian ia kembali memasuki kamar hendak melanjutkan tidurnya kembali.

Saat itu, aku langsung buru-buru berlari kecil menyusul Raya. Namun, saat hendak memasuki kamar, mataku tak sengaja melihat sosok wanita paruh baya yang sedang berdiri di sebrang jalan sedang menghadap ke arah warung.

Karena jendela sebelah kanan warung masih menggunakan jari-jari batang bambu maka, aku bisa melihat dengan jelas sosok wanita tersebut.

Rambut yang sudah acak-acakan, serta baju kotor yang di penuhi noda lumpur, tengah berdiri lingkung di sebrang jalan depan warung.

Entah saat itu rasa penasaran akan sosok wanita tersebut sangat besar kurasakan, perlahan aku mulai melangkah menuju bagian depan warung.

Sambil berjalan pelan ke arah depan, kembali kumatikan lampu yang tadi di nyalakan oleh Raya. Sambil menyembunyikan badan di balik dinding anyaman bambu, kuintip ke arah luar dimana wanita itu berada.

Jantung terasa di pacu seketika saat menyadari jika yang sedang berdiri di luar warung itu adalah bu De Ratna.

Bude Ratna menyunggingkan senyuman ke arahku yang sedang mengintipnya. Bisa kupastikan jika saat itu Bude Ratna mengetahui keberadaan diriku yang menyembunyikan diri di balik dinding bambu.

Sorot matanya pudar, dengan wajah tanpa cahaya kehidupan. Entah sejak kapan hawa di dalam warung terasa amat dingin, padahal saat aku bangun beberapa saat yang lalu suasana di dalam warung sangat panas dan pengap.

Deg!

Mataku terbelalak kaget, kala melihat bude Ratna mulai berjalan sempoyongan menuju arah warung. Seketika itu juga aku berlari menuju kamar dan langsung melompat ke atas ranjang.

Langsung kututup seluruh badan dengan selimut, badan masih gemetar tak karuan karena shyok dengan apa yang kulihat tadi.

Braakk ... Braaak ... Braaakkk ....

Badan semakin menggigil tak karuan saat dinding bambu di pukul keras dari arah luar. Posisi yang tadinya tidur di samping dinding bambu, langsung berpindah dengan berguling mepet ke pada Raya.

Suara hentakan tangan yang membuatku terkejut tersebut, tepat di samping. Kemudian suara langkah kaki kuda terdengar entah dari mana datangnya, suara tersebut semakin mendekat.

Kemudian berhenti sejenak di sebelah warung, dan beberapa saat kembali terdengar menjauh dari arah warung di temani suara tawa yang membuat bulu kuduk berdiri, karena hal itu juga membuat diriku terjaga sepanjang malam.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang