BAGIAN 18

5.1K 447 31
                                    

Suhu udara di sekitar menjadi terasa sangat dingin hawa dinginnya pun berbeda dari yang kurasakan. Begitu juga dengan tubuh bude Ratna yang sudah kupanggil 'Ibu' kulitnya berubah pucat terang dengan telapak tangannya yang kugenggam terasa amat dingin.

Air mataku meleleh tiada henti saat kurasa baru menyadari sosok wanita ayu yang telah berpulang tersebut adalah ibuku. Bukan hanya Bu Ratna saja, ayahku juga sudah mendahului Bu Ratna pulang ke Rahmatullah.

Suara tangis yang sedari kupendamkan keluar menjadi-jadi, terdengar suara bisik-bisik dari arah luar ketika suara tangis histeris yang kulakukan saat itu.

Si Mbok adalah orang yang pertama kali memasuki gubuk dengan berdiri di sampingku menghadap ke arah dua jasad orang tuaku di atas ranjang kayu. Tangan hangatnya mulai menyentuh bagian kanan pundakku, "seng sabar Nduk, awakmu kudu ISO nerimo opo seng wes dadi garise urip teko seng kuoso. (Yang sabar Nak, kamu harus bisa menerima apa yang menjadi garis hidup dari sang maha kuasa.) Ucap si Mbok menenangkan diriku untuk mencoba berdamai dengan ke adaan.

Saat itu aku benar-benar merasakan kebencian dalam diriku pada semua orang yang berada di sana. Termasuk si Mbok dan ibuku sendiri, kesengajaan mereka menyembunyikan kebenaran dari diriku membuat aku kehilangan ke dua orang tua kandungku.

Apa yang sudah kulalui selama ini dengan merasakan kengerian salah satu mahluk penguasa perkebunan kopi. Semua yang kulakukan selama ini terasa sia-sia, bahkan aku sampai lupa dengan tali tengah mayit mbak Murti. Jika tali tengah yang di jadikan tumbal "MEMEDON MANTEN" tersebut belum kutemukan sosok hantu yang menyerupai pengantin Mbak Murti akan terus bergentayangan sampai kapan pun.

Pakde Awing dan tiga bapak-bapak yang tak kuketahui namanya memasuki gubuk, mereka berdiri sejajar di belakangku dan si Mbok.

"Inalilahi wainalilahi rojiun ..." Ucap mereka serempak.

Kemudian si Mbok mulai menutup kedua jasad orang tuaku mengunakan kain jarik. Setelah itu pakde Swing dan ketiga bapak-bapak tadi mulai menggotong raga yang ruhnya sudah terlepas keluar gubuk beriringan.

Rasa kecewa dengan semua yang terjadi membuat diriku terpaku tetap pada posisi duduk bersujud seperti semula, meski raga kedua orang tuaku sudah di angkat untuk di pindahkan dan di sucikan seperti jasad orang lain pada umumnya.

Berkali-kali ibu mencoba membujuk untuk beranjak dari tempatku saat itu. Namun, yang kulakukan masih tetap sama memandang kosong pada ranjang kayu tempat kedua jasad orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya tadi.

Hatiku seakan mati rasa saat ibu memelukku dengan tangisan kerasnya mencoba meluapkan kesedihan yang ia alami selama ini. Apa yang bisa di lakukan anak remaja seumuran diriku saat menghadapi kenyataan yang terlalu pahit untuk di rasakan? Emosi yang tidak stabil serta sifat labil yang melekat pada diriku hanya bisa memendam rasa kekecewaan.

***

Saat kedua jenazah orang tuaku hendak di berangkatkan menuju pemakaman tempat terakhirnya. Aku hanya bisa menangis pilu di dalam kamar tanpa bisa ikut dalam rombongan pengantar menuju peristirahatan terakhirnya.

Hati terasa sakit hingga badan engan beranjak dari dalam kamar seorang diri. Sengaja pintu kamar kukunci rapat dari dalam agar tak terganggu dengan kehadiran seseorang di dekatku, saat itu aku ingin sendiri dengan menyembunyikan rasa kekesalan untuk mencoba kuat menghadapi kenyataan.

Hingga waktu mulai berjalan dengan cepat tanpa kusadari hari sudah berganti. Tujuh hari berlalu cepat sepeninggal kedua orang tuaku, setelah tahu semua kenyataan perlakuanku pada ibu berubah dingin secara total batinku berteriak keras menolak untuk mengakui bahwa dia bukanlah ibu kandungku.

Satu-satunya orang yang tetap sabar dan tegar menghadapi sifatku yang berbanding terbalik dari sebelumnya adalah ibu. Beliau tetap sabar bahkan rasa sayangnya yang ku anggap berpura-pura tetap ia berikan setiap harinya pada diriku yang acuh dengan perlakuan manisnya.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang