***
Saat hari mulai beranjak siang pintu rumah terbuka dengan setengah di dobrak. Kemudian sepasang langkah kaki berlari kecil menuju arah dapur, saat kepalanya menyembul dari balik pintu kamar, dan ternyata itu adalah Mbak Mila.
Mbak Mila memandang ke arah ku sejenak, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah dapur. Tanpa bicara sepatah kata pun padaku saat itu, langkah kaki yang terasa sedang buru-buru dari Mbak Mila membuatku tertegun sejenak.
Masih pada posisi yang sama, rebahan di atas kasur dengan selimut tebal yang menutupi seluruh badan karena badanku terasa dingin saat itu. Di pagi yang sebentar lagi akan beranjak siang itu, aku hanya bisa mengira-ngira apa yang terjadi lagi.
Firasatku mulai tidak enak saat itu, saat pintu kamar tempat aku berada kembali di tutup rapat oleh si Mbok. Saat itu mimik wajah si Mbok terlihat cemas, entah apa yang sedang ia cemaskan. Yang pasti sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Rasa penasaranku semakin besar, saat si Mbok berjalan tergesa-gesa di belakang mbak Mila. Dari jendela kamar kulihat mereka menuju ke arah rumah pak De Awing.
Setelah si Mbok pergi bersama Mbak Mila, aku bangkit kemudian berjalan mondar mandir di dalam kamar. Kepala terasa berat saat itu, pikiranku mulai berkecamuk dengan yang sedang terjadi sesudah kedatanganku kembali ke desa itu.
Rasa bersalah mulai menggelayut di benakku, seandainya saja saat itu aku tidak datang. Pasti kejadian yang di alami oleh keluarga pak De Kus gidak akan terjadi, dan seandainya saja aku tahu penyebab semua yang tidak masuk akal itu terjadi, mungkin aku bisa mencegahnya.
Dan hanya kata seandainya saja yang terus muncul di dalam pikiranku. Jika aku pulang saat itu, mungkin yang terjadi pada keluarga pak De Kus bisa mereda dan berhenti setelah kepulanganku dari desa.
Kemudian cepat-cepat kukemasi barang-barang ke dalam tas ransel meski badan terasa lelah. Setelah siap dan akan segera pulang kerumah kedua orang tuaku, kembali pikiranku kacau. Tidak afdol rasanya jika pulang tidak berpamitan dahulu kepada si Mbok dan pak De.
Setelah memantapkan hati, kulajukan motor menuju rumah pak De Awing. Namun, rumah pak de Awing sangat sepi setelah aku sampai di sana. Ternyata dugaanku tepat, si Mbok dan yang lainnya sedang di rumah Pak De Kus.
Saat itu, rumah pak De Kus ramai di kunjungi oleh sanak keluarga. Pintu depan dan belakang tertutup rapat, sedangkan di dalam rumah banyak orang sedang duduk, di antara mereka tidak terlihat adanya percakapan panjang hanya percakapan kecil dengan nada serius yang terlihat dari gerak bibir dan nada bicara mereka.
Saat aku menghentikan motor di teras depan rumah pak De Kus, tatapan yang membuat hati tidak nyaman dari sanak saudara di sana sudah menungguku.
Sepi, nyaris tidak ada percakapan saat aku datang. Beberapa orang menatap sinis padaku, bahkan saat aku mulai mengetuk pintu rumah, mereka seakan berpura-pura tidak mendengar atau bahkan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Sambil mengucap salam,kuulangi kembali mengetuk pintu rumah pak De Kus. Berharap ada seseorang yang berkenan membukakan pintu untukku.
Tak berlangsung lama, mas Maman membuka pintu sambil berkata, "eh kamu Nduk, ada apa?" Tanya Mas Maman dengan wajah pucat seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat itu.
"Riri mau pamitan Mas," jawabku sambil menunduk memainkan jemari tangan.
"Loh, kenapa?" Tanya Mas Maman terkejut. Kemudian ia menoleh ke arah belakang tepatnya pada orang-orang yang duduk di kursi ruang tamu.
Entah kenapa aku saat itu aku berpikir jika kehadiran diriku tidak di inginkan oleh mereka. Sorot mata sinis masih terus terlihat dari orang-orang yang kutemui di dalam rumah pak De Kus.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMEDON MANTEN
Horror#2 in Horor Tentang sebuah cerita masa lalu yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah teror hantu wanita yang tidak lain adalah Murti, kakak sepupuku itu meninggal satu jam sebelum melakukan akad nikah. Saat malam datang, suara nyanyi...