BAGIAN 15

5K 433 25
                                    

Lelah kaki untuk melangkah yang kutahu saat itu aku hanya berjalan semakin jauh dalam situasi dan waktu yang masih sama.

Hanya latar dan tempatnya saja yang berbeda, ketika Raya mulai pulih kembali dari kondisinya ia mulai berjalan di depanku guna membuka jalan karena di jalan yang kami lalui tergolong sangat sulit di karenakan banyaknya rumput liar yang tumbuh subur.

"Maaf" ucapku lirih sambil menundukkan kepala, gara-gara diriku Raya harus merasakan kesulitan yang mengancam keselamatannya.

Raya menoleh ke arahku kemudian memandangi wajahku lekat-lekat, "gae opo?" (Untuk apa?) Tanyanya tak mengerti maksud dari ucapaku.

"Gara-gara aku ..., Kamu jadi ikutan terseret ke dalam masalah yang kubuat." Jawabku lirih sambil menahan air mata agar tak jatuh.

Raya diam sesaat ia tak mengucapkan sepatah kata pun, yang ia lakukan hanya terus memandang ke arahku yang semakin gelisah dengan keadaan yang kami alami. "Bukane awakdewe konco? Tak rewangi sampek koyok ngene iki mergo awakmu iku koncoku!" (Bukankah kita teman? Aku bantu sampai seperti ini karena kita teman!) Ujar Raya dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf," hanya itu kata yang ku ucapkan sebab penyesalan tiada guna.

"Opo awakmu ora nganggep aku koncomu Ri?" (Apa kamu tidak menganggap aku sebagai temanmu RI?) Kata Raya cepat.

Bukan seperti itu maksudku, hanya saja dengan melihat kondisi Raya saat itu semakin membuat diriku larut dalam rasa bersalah yang semakin membesar.

Jujur, saat itu aku sangat bersyukur Tuhan memberikan seseorang seperti Raya yang selalu menemani diriku dalam situasi apapun. Ku genggam erat tangan Raya agar ia tidak salah sangka dengan maksud perkataanku yang menyinggung perasaannya.

Dan di depan kami saat itu sudah terdapat suatu tanah lapang kecil seukuran lapangan mini dengan pohon jeruk bali, di bawah pohon tersebut banyak sekali kami lihat buah jeruk seukuran bola voli yang berserakan bahkan beberapa di antaranya banyak yang sudah busuk.

Keanehan juga terdapat di tempat tersebut, pasalnya banyak sekali kulihat kuburan kecil seperti kuburan bayi. Tanahnya sangat kering seperti sudah lama tak di basahi oleh air, Raya memperhatikan satu persatu kuburan bayi yang nampak sangat kuno tersebut. Di semua batu nisan yang terpasang sama sekali tidak tercantum nama si pemilik kuburan tersebut.

Masih pada situasi yang sama pertengahan sore dan petang dengan banyaknya kabut yang mulai menebal di sekeliling tempat kami menginjakkan kaki tersebut. Sayup-sayup kembali terdengar suara alunan gamelan Jawa dari jauh, meski jauh suaranya sangat jelas terdengar.

Saat itu kami berdua sama-sama bingung akan melakukan apa, karena kompas yang terpasang di salah satu aplikasi gawaiku tak berfungsi. Bukan itu saja, bahkan jam tangan digital yang melingkar di lengan kiri ku pun menunjukkan angka yang sama seperti yang kulihat pertama kali.

"Wes kadung teles kan? Kate moleh yo gak eroh dalan, yo opo nek di parani ae suoro gamelan iko?" (Sudah terlanjur basah kan? Mau pulang juga tidak tahu jalan, gimana kalo kita datangi saja suara gamelan itu?) Usul Raya memandang ke arahku meminta persetujuan.

Karena jalan pikiran sudah buntu total, bahkan aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat apa saat itu, maka kujawab dengan cepat ajakan Raya untuk mendatangi sumber suara gamelan yang terdengar saat itu.

Langkah kaki kami berdua semakin tergesa-gesa karena semakin kami menuju ke arah suara gamelan yang saat itu terdengar, suaranya semakin menjauh saat kami hampir dekat dengan asal suara tersebut.

Pantang untuk menyerah bagi Raya saat itu, meski jalan yang kami lalui sangat sulit. Raya mengambil sebatang kayu kering untuk menyibakkan rerumputan di depan kami, bahkan kayu tersebut di gunakan raya untuk membantu diriku agar tidak tertinggal jauh darinya dengan cara kami saling memegang ujung kayu saat berjalan dan kadang berlari.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang