BAGIAN 17

5K 455 23
                                    

Alam dengan pekat malamnya menjadi saksi bisu atas kejadian yang kualami saat itu. Kemunculan seorang kakek-kakek yang membawa cangkul di pundaknya membuat kami berempat terkejut, tanpa kami duga kakek tua tersebut mengarahkan cangkulnya pada Egi.

Taakk ....

Bunyi lempengan cangkul yang menancap pada batang pohon besar, tatapan mata kosong kakek tersebut tertuju pada Egi dan dalam sepersekian detik mata kosongnya memandang ke arah Vino.

Beruntungnya Egi dapat menghindar meski situasi saat itu sangat gelap. Vino dan mas Deva yang bergegas untuk segera menolong Egi tiba-tiba terpental keras ke arah belakang.

Tangan keriput yang menunjukkan tulang tertutup kulit tanpa daging begitu keras mencekik leher Egi. Apa yang kulihat saat itu sangat jauh dari kata normal, pasalnya sangat tidak mungkin seorang kakek-kakek dengan tubuh rentanya dapat melakukan hal di luar batasnya.

Rasa ketakutan dengan cepat menjalar pada tubuhku ketika melihat kejadian itu, tak bisa kubayangkan apa yang akan selanjutnya terjadi pada kami. Beberapa kali Vino jatuh tersungkur karena kekuatan yang tidak sebanding dengannya, begitu juga dengan mas Deva meski lelaki tersebut berkali-kali mencoba bangkit, ia akan kembali pada posisinya seperti semula tergeletak di tanah kering di bawah pohon beringin besar.

Saat suara sayup-sayup gamelan Jawa kembali terdengar di kesunyian malam. Kakek tua dengan badan ringkih itu terlihat seperti seorang wanita yang sedang menari pelan, meski hanya sekilas yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Namun, kuyakin jika tubuh kakek tua tersebut di rasuki oleh roh penunggu pohon beringin besar.

Dengan badan tua ringkih kakek tersebut menyeret kaki Egi ke arah yang berlawanan denganku, gaya dan posisi pergelangan kaki yang di pegang sama persis seperti yang terjadi pada Raya.

Semakin lama telingaku mendengar suara gamelan Jawa kedua telingaku terasa amat sakit hingga berdengung kencang.

"Buroko! Opo seng kok karepno?" (Buroko! Apa yang kau inginkan? Suara Vino menghentikan langkah kakek yang sudah menjelma seorang wanita ayu dengan pakaian khas pengantin Jawa.

Posisi badannya masih menghadap ke arah depan hanya saja, posisi kepala berbanding terbalik dengan semestinya. Karena saat itu yang kulihat kepala nyai Buroko menghadap ke arah belakang menatap Vino tajam. "Urusanku karo anak turun Herman, kowe bocah keturunan Ramlan ora dewe kuwoso Karo urusan seng wes kedaden!" (Urusanku dengan anak turun Herman, kamu anak keturunan Ramlan tidak punya hak dengan urusanku yang sudah terjadi.) Ucapnya sambil menyunggingkan senyuman yang membuat bulu romaku berdiri.

"Kusno, wes ngucap sumpah ngawe dewek siji-sijine uwong seng tamak. Sumpah seng wes di ucap keliwat boso pengucapan dukur janji ngowo aku seng nyekseni oleh bayaran nyowo," (Kusno, sudah mengucapkan sumpah yang membuat dia satu-satunya orang yang tamak. Sumpah yang sudah di ucapkan lewat bahasa perjanjian membuat diriku yang menyaksikan mendapatkan bayaran nyawa,) Ucap sosok wanita yang kebanyakan di sebut sebagai Buroko, atau Ijil yang membantu manusia dengan jalan pintas dengan bayaran nyawa.

Sejak kejadian itu aku sedikit mendengar tentang mahluk Buroko, berwujud manusia yang mengenakan pakaian pengantin perempuan. Entah sejak kapan Buroko mendiami tempat itu, yang jelas bayaran yang di minta olehnya adalah sepasang pengantin baru.

Namun kejadian yang menimpaku lain cerita, saat yang aku mendengar bude Ratna jahat karena masih memendam dendam kepada keluargaku ternyata salah besar. Sumber dari masalah ini sebenarnya adalah pakde Kus sendiri, karena saat datang pada Buroko perjanjiannya adalah sepasang pengantin Jawa dari anak kandungnya.

Karena pakde Kus dan bude Ratna tidak memiliki keturunan, dan awalnya Buroko mengira jika mbak Murti adalah darah daging pakde Kus perjanjian di sepakati. Tetapi Buroko lebih dahulu mengetahui kebenarannya, satu jam sebelum akad nikah mahluk tersebut mengambil nyawa mbak Murti.

MEMEDON MANTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang