CHAPTER 18

82 14 0
                                    

[ R.P Adi Bima Wijaya ]

Namaku Adim, dalam sejarahku, aku tidak pernah menyerah.
Hingga akhirnya kelak darah dalam tubuh ini habis.

•••


“Lalu? Kita akan kemana?” Pemuda berusia 14 tahun itu menatap heran yang lebih dewasa. Heran. Untuk sejenak bahkan ia tidak bisa berpikir. “Kau pernah dengar tentang ‘Tali’ tidak?” Pemuda itu menatap dengan tatapan kosong, kentara sekali jika ia tidak paham apa-apa. “Tali... Dia ada di Yogyakarta. Mungkin satu-satunya cara untuk kabur saat ini” Lagi, pemuda itu tidak bergeming dan hanya menatap lurus dan kosong. “Dan organisasinya”

“Bawah Tanah, aku pikir kau sudah tahu” Pemuda itu mengerjapkan matanya. “Aku tahu, aku hanya...” BAM! Dentuman besar terdengar dibalik tubuh Hadi, pemuda yang lebih dewasa. “Oke, aku hanya yakin bahwa kita harus kabur melalui jalur lain” Adim berdiri, melempar anak panahnya entah kemana dan berlari. Tentunya menarik Hadi begitu saja.  “Eh!?”

“Achtervolg hen!” (Kejar mereka!) Sebuah teriakan yang saling susul terdengar. “Kau gila!” Hadi berusaha berlari dengan kecepatan yang sama dengan pemuda yang lebih kecil. “Aku tidak gila! Ayo! Kita harus segera!” Langkah kakinya semakin cepat. Berusaha menghindari semak-semak tinggi dan akar yang terbentang. Hup! Hadi menangkap pemuda kecil itu, mengangkatnya dengan ringan agar tak terjatuh ke dalam jurang. “Astaga... Adim, kau benar-benar... Hah... Hah... Gila!”

“Ahaha, aku tidak gila! Ayo ke sana!” Lagi, pemuda kecil itu berlari dan menarik Hadi sesuka hatinya seakan Hadi pasti tidak tersandung. Meskipun faktanya begitu, tapi tetap saja! Pemuda kecil ini masih terlalu banyak tenaga untuk berlari. “Kita akan kemana? Hey!” Tetap, pemuda kecil itu berlari memasuki hutan semakin dalam.

Suara tentara Belanda semakin mendekat, keduanya berlari semakin cepat. “Hah, sampai!” Hadi menatap heran tumpukan kayu bakar ditengah hutan. “Dari sini, kau akan tiba di Keraton Yogyakarta lebih awal. Tinggalkan aku, kau harus segera!” Hadi menarik tangan Adim. Tatapannya nanar. “Tidak, kau tidak akan selamat!” Adim tersenyum. “Disini aku lahir, disini aku tumbuh, tentu aku tidak keberatan untuk mati disini” Adim melepas ikatan kayu bakar, terbukalah sebuah lorong gelap yang tak terlalu sempit. “Maaf tentang pencahayaannya! Semangat Hadi!” Adim berlari, meloncati batu-batu besar dan semak belukar.

“Adim!” Terlambat, pemuda berbadan kecil itu berlari dengan cepat dan lincah. “Daar is hij!” (Itu dia!) Suara tentara Belanda menjauh sebagian dan mendekat sebagian. Dengan cepat Hadi mendorong pintu besi yang sejak tadi terbuka. Berlari di lorong itu secepat mungkin. Ia masih tidak bisa memikirkan konsep kerja otak Adim. Kemana pemuda itu? Kenapa ia tidak ikut dengannya? Kenapa dia tidak pergi bersamanya?

Semakin dalam, cahaya tak terlihat lagi. Hingga secercah cahaya merambat masuk melalui sebuah pintu besi berkarat. Hadi mendorongnya sekuat tenaga. Pintu itu terbuka. Bau yang tak asing masuk ke rongga pernafasannya. Bau laut. Suara hiruk pikuk pelabuhan terdengar jelas.

Hup! Adim meloncat ke atas salah satu ranting pohon. Memanjat semakin ke atas hingga tiba di pucuknya. “Hah, capek juga ternyata” Ia duduk diatasnya. Meruncingkan ranting-ranting kecil nan kokoh disampingnya. “Aku mengkhawatirkan tentara itu sekarang” Tubunya yang kecil kembali turun dan berhadapan dengan tentara Belanda. “Ik ben hier! Ik ben hier!” (Aku disini! Aku disini!) Ia berteriak, sukses menarik perhatian semua tentara Belanda. “Vang hem!” (Tangkap dia!) Semua tentara itu membidikkan senapannya.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang