CHAPTER 10

127 29 1
                                    

[ Vayanina Anastasia Ryker ]

•••

Rasa sakit itu tak bisa terobati. Tak bisa terlupa. Meski waktu berlalu demikian lesat bak lecut cambuk memberi rekah luka pada setiap bagian kehidupannya. Setiap detik, setiap waktu, malam-malam panjang Vayanina tidak pernah tidak disambangi getirnya peristiwa hari itu. Hari dimana kematian merenggut sang ibunda dan hari dimana kematian merenggut Saka. Kian pekat malam kiat lekat kuat rasanya. Bagaimana kehilangan begitu meremukredamkan. Meluluhlantakkan.

Vayanina pernah begitu berharap, dalam renungan-renungan panjangnya tentang sebuah angan bahwa bilamana mungkin ia bisa bernegosiasi dengan tuhan. Ia ingin meminta tak dilahirkan dalam masa ini. Masa kejam lagi kelam dimana hasrat ego suatu golongan diderajatkan lebih agung daripada nilai diri seorang manusia sesungguhnya. Ia ingin merdeka. Ia ingin pembebasan sesungguhnya bagi semua ras dan bangsa. Bagi ibunda dan Saka. 

Hoe gaat het vandaag, Vayanina?” (bagaimana kabarmu hari ini, Vayanina ?” Albert Van Ryker bertanya kepada putri bungsunya di tengah-tengah perjamuan makan malam mereka. Betapa Vayanina ingin mengatakan bahwa hatinya berduka. Setiap saat ia melihat wajah ayah dan kakaknya. Namun suara hatinya tentulah senantiasa bungkam ketika bibirnya menuturkan jawaban lain.

“Mijn nieuws is goed, Pa,” (kabarku baik, ayah) Zuniar, kakaknya, mendelik tak suka.

“Mengaku pribumi tapi masih pakai bahasa Belanda ....”

“Zuniar,” ayahanda menegurnya, “tidak ada pribumi di keluarga kita.”

Zuniar membungkam. Demikian halnya dengan Vayanina yang kepalanya tertunduk dalam. Keluarga bangsawan itu makan dalam ketenangan. Berusaha sedemikian rupa meminimalisir suara denting garpu dan piring demi terjunjungnya adat dan etika. Tata krama sakral seorang bangsawan.

Sunyi itu tak bertahan lama. Karena sang putri tertua, Zuniar Van Ryker lekas memanggil Sujilah. Suaranya menggelegar di seluruh ruang makan. “Sujilah! Sujilah!”

“Iya, Nona ?” terdengar sebuah suara dari arah dapur. Beriringan dengan ketuk-ketuk tongkat penuntun. Sujilah datang menatih sebab gadis buta lemah adalah citranya. Tak mungkin ia menegap badan dihadapan sang tuan. Meski ia mampu berjalan tanpa tuntunan tongkat bak tak berdaya tanpanya.

Zuniar berdecih. Demikian sinislah tatapannya ketika Sujilah tak kunjung sampai di sampingnya. “sudah! Diam saja di sana kamu! Minta pada ibumu siapkan gaunku yang paling elok. Begitu aku ke kamar gaun itu harus sudah terlipat rapih di ranjangku!”

“Baik, Nona,” lantas Sujilah bergegas pergi. Disempatkan matanya melirik pada Vayanina sejenak, kemudian mengangguk agar sang nona muda tak begitu khawatir. Sedang Vayanina tetap tak melepas pandangannya pada pelayan kesayangannya. Merasa iba akan nasib Sujilah.

Ayahanda berdeham. Kedua putrinya lantas menempatkan mata pada lelaki berpostur besar lagi tegap itu. “Bagaimana dengan proyekmu, Zuniar ? Sudah sampai mana ?”

Zuniar menaruh peralatan makannya. Meneguk air sebelum bicara, “sudah hampir sempurna. Ayah tenang saja. Putri ayah ini tidak akan gagal.”

Jenderal Ryker tersenyum bangga. Vayanina yang memperhatikan lantas terheran. “Mbak sedang ada proyek apa ?”

Zuniar mendeliknya, “Bukan urusanmu!”

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang