CHAPTER 5

140 34 2
                                    

[ Sujilah ]

•••

Lembaran fajar telah jatuh, menyentuh tanah membentuk kilasan-kilasan cahaya pagi yang membayang. Sujilah tengah menyisir rambut hitam panjangnya ketika ia mendengar sebuah ketukan pada pintu kamar. Ketukan dengan nada tertentu sebagai 'kode' percakapan antara ia dan sang majikan muda, Vayanina.

Dengan cepat ia menyanggul rambut panjangnya itu dengan sebuah kayu panjang tipis dan melilitkan sisa rambutnya. Ia bangkit dan membuka pintu mendapati Vayanina yang sudah berdiri tegap dengan ekskpresi wajah senangnya yang seakan dibuat-buat.

Sujilah memang tidak bisa melihat, mata berwarna abu-abunya itu seakan hanya hiasan mata porselen tidak berguna pada sebuah boneka. Tatapannya kosong kedepan tanpa secercah ekspresi terpancar dalam sepasang mata tersebut. Namun jika kau menganggap Sujilah lemah, kau salah besar.

Gadis ini dapat melihat, tidak dengan matanya. Tapi dengan getaran-getaran yang ia dapat rasakan pada telapak kaki, merasakan vibrasi tanah dari orang-orang serta benda disekitarnya. Ia dapat mengetahui letak sebuah gedung, taman, pepohonan bahkan dengan seekor rayap yang kini tengah menggerogoti sebuah meja kayu lapuk di gudang keluarga Vaya, ia mengetahui semua itu.

Dan jangan lupakan indra pendengarannya yang sangat peka dengan suara dengan frekuensi sekecil apapun. Mungkin ia tidak diberkahi dengan mata yang sehat, tapi ia tetap bisa 'melihat' letak orang-orang disekitarnya, jarak mereka, menghafal suara mereka, serta melihat bentuk tubuh mereka dengan mudah.

Kelebihan indra perasaan ini yang membuatnya memiliki kemampuan penguasaan bela diri menggunakan pisau walau dengan keterbatasannya. Kelebihan ini pula yang membuat ia dan Vayanina dekat serta bekerja sama.

Tidak akan ada seorang pun yang akan menduga apa yang dapat seorang gadis peranakan belanda-indo berjalan dengan seorang pembantu wanita buta dibelakangnya lakukan. Orang awam akan dengan segera meremehkan keberadaan mereka yang terlihat normal dari luar. Namun, itu semua adalah sebuah penyamaran yang sempurna untuk mengelabui orang dan membuat seluruh kecurigaan pada mereka hilang dengan seketika.

"Kemana kita akan pergi hari ini nona?" tanya Sujilah sesaat setelah ia membuka pintu kamarnya. Lengkap dengan jarik dan kebaya hitam sederhana dengan bordiran bunga kenanga pada ujungnya.

"Ayo temani aku jalan-jalan!" balas Vayanina dengan uluran tangan miliknya yang disambut dengan sebuah rabaan lengan Sujilah. Keduanya tersenyum, senyum dengan makna tersembunyi dibalik seutas senyuman manis tersebut.

Vayanina mengenakan gaun putih sebetis dengan hiasan bunga mawar yang senada dengan jepitan merah miliknya. Mereka berjalan melewati ruang keluarga, disana tampak Zuniar tengah menyiapkan perbekalan dan sangu karena dalam dua hari ia dan sang ayah akan pergi ke Yogya untuk urusan bisnis.

Zuniar menatap sinis kearah keduanya. Tatapan kebencian yang mengarah kepada kedua insan yang barusan melewatinya. Sedari kecil ia membenci Sujilah, ia menganggap perempuan buta itu hanya akan membawa masalah dan kesialan. Namun entah apa yang merasuki adiknya hingga mau memperkerjakan wanita buta dan tidak berguna, bahkan menganggapnya teman.

Tak khayal pukulan kecil namun menyakitkan kerap dilayangkan Zuniar pada Sujilah, tanpa alasan yang jelas. Wanita tuna netra ini dapat saja melawan Zuniar dan menaklukkannya, tapi ia tidak melakukan itu dan selalu berlagak lemah serta tak berdaya dihadapan Zuniar. Ini juga yang membuat Zuniar memberikan luka lebam yang cukup dalam pada tulang belikat kanannya dua malam yang lalu, untung saja ini sudah membaik sekarang.

Mereka harus tetap tampak tidak berdaya dihadapan seluruh anggota keluarga untuk menghilangkan kecurigaan sehingga mereka dapat bergerak sebebas mungkin. Vayanina memang sudah menganggap Sujilah teman, sahabat, saudari, bahkan tangan kanan yang sangat ia percayai. Wanita buta yang memiliki segudang masa lalu kelam ini akan selalu menjaganya.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang