[ Ade Wijaya ]
•••
(Bukan) Pahlawan
"Apa kamu itu ... manusia?"
"Kenapa kau tersenyum seperti itu? Mengerikan."
"Monster."
"Hoi, bangun, Dek!"
Dalam pikirannya yang tidak dipenuhi dalam rasa aman, keinginannya untuk terus berjuang hingga menang dan bebas dari kekangan, instingnya untuk terus mengambil nafas di esok hari memaksa lengannya untuk bergerak cepat, memilin keras lengan sang pemilik suara. Mata merah darah Jaya menyala, memantulkan matahari yang melayang di atas Bentala, dan posisinya yang tadinya tidur di atas bangku kayu kini mendadak terduduk dalam waktu sepersekian detik, memelototi sang penjual koran yang mengulum senyum.
"Pancet ae toh, Mas. (Selalu aja kayak gini, Mas)" Ia tertawa, seakan-akan di depannya tidak ada mata merah yang memelototinya setajam belati, ia hanya menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang diremas keras oleh sang pejuang dan sudah ia bungkus dengan koran. "Untung wes (sudah) siap-siap, jadi gak loro nemen (terlalu sakit)"
Jaya yang menyadari bahwa itu bukan penjajah, bukan pembunuh ayah ibunya, bukan mereka yang suka merendahkan harat martabat manusia, kemudian meregangkan pegangan tangannya. Mata merahnya kemudian melihat santai ke koran yang ikutan teremas, dan ia tersenyum malu ke penjual koran yang sudah berkepala 4 itu. "Hehe, gampang diprediksi ya Kang?"
"Tiap aku mbangunno koen, yo. (Setiap aku membangunkan kamu, ya.)" Jaya menutup matanya ketika koran yang dipilin menjadi bentuk tabung itu melayang, memukul kepalanya yang berambut cepak hitam. "Selalu aja masnya meras tangan kananku," Kang Nyoto kemudian melepas koran yang ia lingkarkan ke lengan kanannya tadi, untuk meminimalisir serangan pilinan maut dari Jaya.
"Sepurane (maaf), Pak." Jaya berbicara santai, kemudian ia bergeser ke kiri, membiarkan Kang Nyoto - salah satu teman dari teman Jaya yang tidak banyak itu, duduk di sebelahnya. Ia juga menyeret sarung bermotif kotak-kotak hijau dan ungu yang tadi ia gunakan sebagai selimut ke arahnya. Ia kemudian berdiri, melipat sarung tersebut, dan menyampirkan sarung ke bahu kirinya, kemudian dari bagian bahu kirinya, sarung itu ia tarik hingga ke pinggang bagian kanan, dan di pinggang itu ia tali sarung itu, dan ia biarkan sisa kain terurai dari perut ke atas mata kakinya.
"Ada berita menyenangkan apa di tanah terjajah ini?"
Jaya berkata santai, kemudian melakukan stretching. Ia meregangkan tangannya ke atas sambil menguap, kemudian mengaduh ketika Pak Nyoto memukul pantatnya lagi dengan buntalan koran. "Omongane dijogo (jaga omonganmu)," Pak Nyoto menggelengkan kepala. Ia kemudian berdeham, dan meregangkan lehernya, kemudian membaca salah satu koran yang tadi ia pilin. "Markas Pemberontakan Disergap, Beberapa Orang Berhasil Ditangkap."
"Kurang jago maennya," sahut Jaya, yang sekarang sedang memukul-mukul angin.
"Oy, kamu tuh ya. Mereka itu sekelompok pejuang yang pemberani. Mempertaruhkan nyawa seperti itu demi masa depan bangsa ini. Mbok ya yang bagus dikit komennya."
"Nggih (ya), Kang Nyoto," Jaya berkata dengan nada mengejek dan lanjut meregangkan pinggangnya. Kemudian ia berhenti tiba-tiba, dan melihat ke arah langit. Pandangannya kemudian menoleh pada Kang Nyoto yang sedang memilah-milah korannya. "Kanggg tiba-tiba aku pengen es lilin nihhh."