CHAPTER 14

86 24 5
                                    

[ Ade Wijaya ]

•••

Tidak Lagi Berjaya

Entah mengapa, mata coklat yang bak tertutupi oleh awan abu-abu itu terus terngiang di kepala laki-laki tersebut. Matanya mungkin memang tak dapat melihat dunia di depannya, namun bagi laki-laki itu, dunia-nya berada dalam mata wanita tersebut. Jaya menarik baju putihnya ke atas, dan melihat perban yang terlilit melintang ke dadanya, ia mengusap dan sesekali menekan bagian tubuhnya yang memar tersebut – niatnya ingin mengingat bagaimana tangan halus Sujilah mengobati tubuhnya – namun karena ia bodoh, tentu saja, ia malah merintih karena tidak sengaja menekan memarnya yang belum sembuh.

“Ngapain buka-buka baju kayak gitu? Mau alih profesi ngelakuin pekerjaan yang agak kotor?”

Jaya terperanjat di suara di belakangnya, kemudian segera menutup bajunya. Ia memicingkan matanya pada Kang Nyoto, yang dengan santai menyeruput kopi hitamnya.

“Kenapa diam-diam ngeliatin aku? Mesum.”

“Yang mesum itu kamu, kan. Kamu tadi lagi mbayangin apa hayo?”

Sejenak, senyum dan bagaimana tangan halus itu menyentuh kulit kecoklatannya terlintas di pikirannya. Bagaimana bibir ranum itu tersenyum, mata sayu-nya bak pelangi yang muncul sehabis hujang, helaian rambutnya yang jatuh dan ia sampirkan ke belakang telinganya, muka Jaya tiba-tiba panas. Ia kemudian mengalihkan muka menghindari tatapan Kang Nyoto. “Berisik.” Ujarnya, berharap Kang Nyoto akan lebih fokus pada kopi hitamnya daripada mengganggu remaja yang hormonnya masih belum seimbang tersebut.

Namun Kang Nyoto tentu saja, tersenyum usil, dan takdir kali ini tidak begitu baik pada Jaya, ia kemudian menyikut Jaya dan sukses membuat Jaya jengkel. “Begitu.” Kang Nyoto mengatakan, kopi hitamnya ia sampirkan di meja, dan menjadi sesuatu yang tiada menarik lagi. Jika saja kopi itu bisa berekspresi, ia pasti lah sudah menangis. “Ternyata pahlawan sadis kita sedang jatuh cinta,” Kang Nyoto meng-orak arik rambut cepak coklat milik Jaya, dan Jaya mencengkeram tangan Kang Nyoto – dengan kekuatan yang lebih besar dari yang diperlukan – menepis tangan Kang Nyoto menjauh dari rambutnya.

“Ow, kalau kamu kasar begitu, gadis yang kamu sukai gabakal kamu sukai balik lo!”

“Hah! Sejak kapan aku bilang aku suka sama gadis!” Jaya setengah berteriak (padahal tidak perlu), mukanya tidak bisa berhenti memerah.

“Nggak pernah sih … jadi, kamu beneran suka sama gadis?” Kang Nyoto bersiul.

Menyadari kebodohannya mengeluarkan kata-kata yang seharusnya tidak diperlukan, Jaya berteriak frustasi dan berdiri dari bangku kayunya. “Agh! Kang Nyoto! Gatau ah, aku mau beli lemper!”

Lengannya kemudian tertarik, dan Jaya jadi tidak bisa pergi lebih jauh dari gubuk sederhana milik Kang Nyoto. Sang lemper harus menunggu, dan Jaya meemparkan tatapan mematikan pada Kang Nyoto, namun kali ini aura Kang Nyoto berubah menjadi serius.

“Jaya, sini dulu. Kamu tidak lihat perban mu itu sudah memerah kembali dan perlu diganti? Sini, biar bapak ganti dulu.”

Kang Nyoto jarang sekali terlihat serius. Namun sudah hidup 8 tahun di bawah naungan Kang Nyoto, Jaya tahu ia tidak bisa melakukan hal bodoh seperti membantah pengurusnya di kala ia sedang serius seperti ini. Jaya kemudian mengangguk, dan mengikuti Kang Nyoto masuk ke rumah.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang