CHAPTER 4

190 36 11
                                    

[ Cakra Wijayakusuma ]

•••

Cakra tersentak. Rupanya setelah sampai ke rumah sehabis rapat organisasi kemarin, ia memutuskan menulis beberapa hal lalu tanpa sengaja tertidur di meja kerjanya, meninggalkan beberapa buku yang masih terbuka juga sebuah pena yang masih dalam genggamannya. Sambil menahan kantuk ia berjalan ke arah kamar mandi dan mencuci wajahnya. Pipi kirinya terasa sedikit perih, Cakra ingat kalau Sujilah berhasil melukainya kemarin. Dengan sedikit dipaksakan ia akhirnya memutuskan untuk mandi.

Saat ingin berangkat ke tempat kerjanya, Cakra melihat dua wanita yang berdiri di ambang pintu. Wanita yang ia kenali sebagai Vayanina dan Sujilah. “Maaf, nona-nona bisa kembali nanti sore kalau ingin foto atau mencetak foto,” ucap Cakra.

“Sebentar saja” balas Vaya.

Cakra pun mempersilahkan kedua tamunya itu masuk. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Kamu pasti kenal ‘Tali’ kan?”

Cakra terdiam, lalu tertawa kecil, “Siapa orang sini yang tidak tahu ‘Tali’?” balasnya.

“Tangan kananku, Sujilah, kemarin bertemu dengan ‘Tali’ dan berhasil melukai pipi kirinya,” ucap Vaya membuat Cakra langsung memalingkan kepalanya ke arah kiri untuk menutupi luka di pipinya.

“Sekitar dua hari yang lalu, secara kebetulan aku juga melihat luka di jari telunjuk tangan kanan milik ‘Tali’,” sambungnya. Cakra serta merta memasukkan tangan kananya ke dalam saku celana lalu masuk ke dalam tempat penyimpanan foto yang telah dicuci.

Vaya mengikuti Cakra. Mereka terdiam beberapa saat. “Kamu benar-benar ‘Tali’ kan?” tanyanya.

“Sudah kubilang bukan!”

“Kapan kamu bilang bukan? Sepertinya sedari tadi hanya berkata siapa yang tidak tahu ‘Tali’ kan?” tanyanya.

“Yang jelas aku bukan ‘Tali’!” teriak Cakra.

Vaya tersenyum, “Lalu penjelasan soal bekas luka di pipi kiri juga jari telunjuk tangan kananmu?” tanyanya.

“Jadi ... Selama ini ‘Tali’ itu kamu?!” teriak seseorang kaget. Ternyata Hendra mampir dengan niat membicarakan soal siapa pengkhianat di kantor Nusantara  dan tanpa sengaja malah mendengar ucapan yang mencengangkan.

Cakra menunjukkan muka masamnya. Dia tidak mungkin bisa berkelit dari argumen putri gubernur jenderal juga jurnalis kawakan yang saat ini ada di depannya.

Cakra akhirnya mengajak Vayanina dan Hendra masuk ke ruangan yang dipakainya dan Tama bicara kemarin, ruang mencuci foto. “Jadi... harus kumulai dari mana?” tanya Cakra.

“Woah! Kamu benar-benar “Tali”? Tak heran kamu bisa menemukan kertas itu di dalam sepatu Danu” ucap Hendra. “Tapi rasanya sedikit agak bagaimana begitu melihat kamu langsung mengaku, biasanya di cerita-cerita orang yang dituduh pasti punya kesempatan untuk lepas dari tuduhannya kan?” sambungnya dengan nada mengejek.

Cakra menatap tajam ke arah Hendra, “Baiklah, aku sedang di awasi dua tim dari Pemerintah Hindia sekaligus, jadi aku tidak mau membuat mereka malah makin mengawasiku karena kalian berdua menyelidikiku juga,” jelasnya.

“Dua? Selain informasi yang kamu berikan kemarin, apa lagi?” tanya Vaya.

Hendra terlihat sedikit bingung dengan apa yang di katakan Vaya, “Informasi? Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanyanya.

Keadaan Cakra cukup pelik saat ini. Terlebih ia harus menghadapi dua orang dengan keingintahuan setinggi langit. “Untuk Vaya, selain informasi yang kuberikan di rapat kemarin, aku juga diawasi karena Pemerintah Hindia menganggapku punya hubungan dengan ‘Tali’ atau bahkan ‘Tali’ itu sendiri,” Cakra menerangkan jawaban dari pertanyaan nona cantik di depannya. “Untuk Mas Hendra. Pertama, aku belum punya waktu untuk menjelaskannya padamu. Kedua-“

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang