[ Hanson Bareld ]
•••
PELARIANHanson, oh bukan, Hadi maksudnya. Dalam seambrek memoar usang yang masih setia ia simpan, teramat sedikit tawa lepas yang birainya luncurkan lantaran paksaan mutlak—harus dilaksanakan.
Katanya, Hadi tak bisa menolak serangkaian peraturan tak tertulis yang ayahnya buat. Dalam hidupnya, Hadi seolah tak diijinkan menciptakan cahaya-cahaya kecil yang dikenal dengan impian. Katakanlah klise, karna memang tak ada yang baru di dunia ini bukan?
Bahkan di saat kedua orang tuanya telah tiada, Hadi masih mampu buat dikekang. Hingga mengantarkan si empu ke tanah Nusantara atas kehendak wasiat terakhir. Menjebaknya dalam dilema berlimpah darah.
Lantas karna ketidaksanggupan jiwa dan raga, Hadi memberontak dengan sisa-sisa tenaga di tengah hujan peluru. Menjalani pelarian yang cukup panjang setelah membentuk satu keputusan besar, dirundung asumsi pekat nan kental—menjebak pikirannya dalam labirin abu-abu.
Namun kala sebuah anak panah melesat—hampir melubangi kepalanya, seseorang kembali ambil bagian dalam kehidupan Hadi. Membawanya mencecap sesuatu yang baru, sesuatu yang dapat mengisi takdir barunya melewati si pangeran kerajaan.
Adim.
Untuk pertama kalinya Hadi menyambangi wilayah kerajaan di Nusantara karna Adim. Ekspetasi si empu saat pertama kali bertemu adalah, Adim itu orang yang giat, dan mungkin sedikit dingin.
Memang benar kok, Adim memang seperti itu. Tapi di mata Hadi, dia itu orang yang baik. Dengan tanpa rasa curiga sama sekali, ia membawanya ke istana. Menjadikan diri sebagai orang pertama yang Hadi ajak bertukar kata setelah beberapa hari berlalu.
Adim juga mematahkan asumsi Hadi yang berpikir kalau anak 14 tahun hanya bisa mengayunkan senjata saja. Salah besar, remaja satu ini bisa dibilang mahir dengan panah. Sampai-sampai menggugah keinginan Hadi untuk belajar cara menggunakan senjata tak bermesin itu.
Hadi juga menyadari bahwa afeksi di masa-masa peperangan seperti ini adalah hal mahal yang teramat sulit didapat masing-masing manusia.
Terlebih bagi para pejuang, hampir mustahil.
Sekarang, keduanya tengah memacu tungkai menyusuri lorong istana yang semakin disusuri semakin gelap nan kotor. Dengan menunduk Hadi mempercepat pacu langkah kala Adim berlari secara tiba-tiba. Derajat sangat dijunjung tinggi di masa ini.
Secercah cahaya di ujung lorong kian jelas dan semakin benderang. Hadi mendapati Adim yang dengan tegap berdiri di atas bongkahan batu besar dekat sana. Sisi yang tepat untuk menyaksikan secara keseluruhan lukisan alam yang dengan langsung Tuhan berikan untuk manusia.
Hening sejemang lantaran keduanya yang masih terpaku pada apa yang matanya amati ini. Hadi memang sudah pernah mengamati pemandangan semacam ini (waktu perjalanan menuju markas di hari pertamanya), tapi yang ini berbeda. Rasa-rasanya Hadi mau memeluk apa yang ia lihat sekarang.
Oke terdengar hiperbola nan konyol.
Bukan hanya membangkitkan rasa bahagia tersendiri, namun pula membangkitkan sebuah afeksi tersendiri untuk negeri ini. Nusantara tak pantas menjadi sasaran ketamakan, tetapi pun merupakan sumber pencipta serakahnya manusia.
Benar begitu tidak sih?
Yang pasti, jalan hidup Hadi masih sama. Belum tersentuh ragu sama sekali, dan apa yang terjadi hari ini justru memperkuat jalan hidupnya.