CHAPTER 15

78 20 8
                                    

[ Ade Wijaya ]

•••

Kaki Sujilah menapaki tarian rumput hijau yang menyambut telapaknya, berdansa bersama angin, paru-parunya dipenuhi oleh oksigen segar, sedangkan indra pendengarnya dipenuhi oleh tawa laki-laki yang memacu detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Sujilah tersenyum, pandangan rumput yang luas, di depan ada pohon tua besar yang telah hidup bertahun-tahun, seakan menjadi ‘penjaga’ dari tanah lapang ini. Telah lama ia terkurung dalam rumah itu, mengkhawatirkan akan Nona Vaya (yah, sekarang, dalam rumah itu pasti Nona Vaya mengkhawatirkannya … tapi tidak mengapalah, sekali-kali) dan hal yang lain-lain ....

Namun seluruh pikirannya itu malah membuatnya tak sadar akan batu yang ada di depannya, membuat keseimbangannya menghilang, dan hampir saja ia jatuh tersungkur ke atas tanah sebelum Jaya berputar dan ia malah tersungkur ke bahu Jaya. “Ng? Liat-liat dong, modus ya?”

Sujilah memerah mendengar itu, dan mencubit pinggul Jaya hingga lelaki itu mengaduh. “Bodoh!” Ia kemudian melepaskan pelukan-tidak-sengaja tersebut dan menghela nafas. “… Sudah begitu lama aku tidak merasakan taman di luar seperti ini, menyegarkan sekali rasanya. Terimakasih, Jaya,” Sujilah mengatakan dengan senyum manis, namun diam-diam mendeteksi detak jantung laki-laki itu, dan benar saja, detak jantungnya menjadi lebih cepat, ia juga memalingkan kepalanya. Manis. 

“Ini kan cuma taman luas biasa ….” Ia menggerutu.

Sujilah tersenyum, kemudian menaruh tangan halusnya ke dada pria itu. “Apa wajahmu memerah? Aku bisa merasakannya ….” Tangannya menyusuri hingga menuju bagian kiri dada Jaya. “Disini.”

“Sudah tidak ada majikanmu disini,” Jaya mengatakan, dan memegangi lengan Sujilah. “Yang berarti .…”

Sujilah memiringkan kepala, sunggingan bibirnya semakin melebar. “Berarti, apa, Jaya?”

Beberapa detik kemudian, bibir mereka bertemu. Di siang hari itu, angin, rerumputan, dan pohon besar itu memandangi kedua sejoli yang telah masing-masing jatuh hati. 


***

Pada akhirnya, Kang Nyoto tidak melaporkan anak kecil itu ke polisi, entah mengapa … mungkin dari intuisinya mengatakan bahwa anak sekecil itu kasihan jika akan berurusan dengan hukum yang macam-macam, atau mungkin, dalam lubuk hati terdalam Kang Nyoto, ia ingin mengurusi anak aneh dengan baju berlumuran darah pada hari hujan tersebut. Jadi sehari-harinya, anak itu menghabiskan hari-harinya dengan mengerjakan soal matematika dari buku SD yang Kang Nyoto pinjam dari tetangga, makan bakso, makan gorengan … tidak banyak. Ia juga tidak banyak bicara, namun Kang Nyoto tidak keberatan akan itu. Lagipula, waktu demi waktu, ia pasti akan membuka diri pada Kang Nyoto pada waktunya. 

Sore itu, Jaya kecil sedang berada di salah satu meja yang warung kecil Kang Nyoto, semantara sang penjual bakso tersebut menyiapkan bahan-bahan. Kemudian … suara keras terdengar, dan kedua orang tersebut memandangi arah suara. Keringat dingin mengucur di dahi Kang Nyoto, mereka … para preman yang biasanya mengusik warga setempat!

Kursi merah yang tersungkur jatuh kemudian disusul oleh meja yang juga ditendang oleh preman botak dengan baju hitam yang memperlihatkan ketiak tersebut. Ia menyeringai melihat sang penjual bakso. 

“Baru 2 jatuh nih, kalo gamau seluruh tempat ini jatuh, mending bayar ‘pajak’ dulu bos,” 

Sialan. Umpat Kang Nyoto. Ia tidak memiliki banyak di bulan ini. Apalagi dengan serangan Hindia Belanda, orang-orang pasti akan menghabiskan uangnya untuk membeli kebutuhan pokok yang lebih murah seperti beras, menabung untuk pergi ke kota yang lebih aman … daripada menikmati bakso di pinggir jalan (seperti ada yang bisa ‘dinikmati’ di masa-masa seperti ini, heh) Ia mengepalkan tangannya. Padahal … ia baru saja ingin membelikan baju untuk Jaya. Kasihan, melihat Jaya memakai baju kebesaran miliknya terus .… 

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang