CHAPTER 12

109 26 2
                                    

[ Cakra Wijayakusuma ]

•••

Di tengah gelapnya malam, seorang pria berjalan tertatih-tatih sambil memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Wajahnya sudah begitu pucat, ia sudah terlalu banyak kehilangan darah. Setelah mencoba untuk berjalan beberapa langkah lagi, tenaga di kakinya sudah tak mencukupi. Ia mulai merasa kalau ini akhir dari hidupnya, sekaligus akhir dari penderitaannya.

Ia tersenyum terlihat darah  keluar dari sudut bibirnya. Ia paham betul akan konsekuensi terburuk jika jadi orang bawah tanah semacam ini, tak akan ada yang mengenalinya sebagai pahlawan, bahkan orang-orang cenderung mengenalinya sebagai pemberontak, begitu  mati, semua akan segera melupakannya, sebab di depan layar ia hanya orang biasa.

Ah ... Ayah ... Ibu ... Maaf, sepertinya aku akan segera bertemu kalian ....


***

Sinar mentari merangsek masuk lewat jendela yang hanya ditutup selembar kain tipis itu. Seorang lelaki yang terbaring di sana mulai membuka mata. Dengan menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, ia berusaha bangkit. Tidak bisa, tubuhnya tidak mau bangun dari tempat tidur, bahkan hanya untuk duduk, padahal ia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

“Jangan bangun dulu, lukamu nanti terbuka,” ucap seorang pria yang masuk ke ruangan tersebut. “Ah, namaku Surya, aku dok- bukan, aku tidak pernah mengikuti pendidikan formal di bidang kedokteran, yang jelas aku tahu dasar-dasar untuk mengobati seseorang yang sakit,” sambungnya memperkenalkan diri.

Laki-laki yang tengah tergeletak tadi bertanya dengan suara lemah, “Aku di mana?”

Surya tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan lelaki tersebut, “Tentu saja di rumahku, sepertinya Tuhan belum mengizinkanmu untuk pergi, kau sangat beruntung peluru itu tidak mengenai organ-organ penting dalam tubuhmu, kau juga beruntung saat itu aku sedang memutuskan untuk lewat sana.”

“Kau tidak menyerahkanku ke Pemerintah Hindia?”

“Kenapa aku harus menyerahkanmu pada mereka? Memangnya aku pesuruh mereka?” jelas Surya.

Laki-laki yang sedang terbaring itu adalah Cakra Wijayakusuma, orang yang sedang banyak diperbincangkan di Hindia belakangan ini. Entah mukjizat apa yang ia terima sampai peluru yang ditembakkan Putra di malam itu tidak membunuhnya.

“Oh iya, soal tangan kananmu, mungkin kau masih bisa menekuk dan meluruskan lenganmu, tapi aku tidak terlalu yakin bisa membuat jari-jarimu bergerak seperti semula,” Surya berkata sambil memberikan ekspresi sedikit kecewa.

Begitu mendengar ucapan Surya, Cakra segera mencoba mengangkat tangannya. Sayang, entah mungkin karena belum sepenuhnya sembuh atau ada alasan lain, ia belum bisa menggerakkan lengan kanannya sama sekali. Sebenarnya hal ini tidak terlalu mengejutkan baginya, dengan luka separah itu, ia bahkan merasa hampir mustahil jantungnya masih berdetak. “Terima kasih banyak sudah membantuku,” balas Cakra dengan suara pelan.

Surya kemudian meminta Cakra untuk beristirahat, ia lalu pergi dari sana.

***

Tak terasa saat ini sudah lewat 3 bulan Cakra ada di rumah Surya. Karena Surya sering pergi ke luar, ia mengizinkan Cakra untuk tinggal sementara di sana. Kondisi Cakra pun sudah jauh membaik setelah mendapat perawatan dari Surya. Meskipun tak pernah masuk sekolah dokter, kemampuan Surya dalam memberikan pengobatan luar biasa.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang