CHAPTER 8

94 27 0
                                    

[ Hanson Bareld ]
Hadi

•••

Mereka semua berbaris dengan menggenggam senjata dengan erat di jemari masing-masing. Berwajah datar dengan seragam tanah air mereka, jiwa-jiwa murni perlahan terseret tindakan tak manusiawi dan tak berdasar. Hanson Bareld adalah satu insan dari puluhan tentara baru Belanda di Nusantara.

Dibalik wajah papannya, Hanson menyembunyikan ketidakniatan yang menggelora, membuatnya harus menginjakkan diri di tanah yang ia kagumi ini. Hanson itu suka Indonesia karna panorama lukisan alamnya. Sayang, negaranya sendiri berkeinginan merebut keindahan itu.

Seharusnya Hanson senang dengan jatuhnya Indonesia ke tangan Belanda—negaranya sendiri. Tapi tidak, Hanson sama sekali tidak senang, bahkan rasa benci mulai menggerayahi hatinya. Karna tentara sama sekali bukan dirinya, terlebih Hanson itu tipe orang yang mudah tidak tega, parah memang.

Alibi macam apa ini?

Mau tahu alasan Hanson si cerdas menjadi tentara? Percaya atau tidak ini karna selembar kertas wasiat dari orang tuanya yang sudah tiada menjadi korban persaingan politik. Hanson sejak dulu memang tak terlalu tertarik dengan hal berbau senjata, tapi bukan berarti ia tidak bisa menggunakan bedil dan kawan-kawan. Saat mulai meneliti hutan dan pelabuhan, muncul segelintir rasa penyesalan karna telah menuruti selembar kertas bertinta. Ah, tapi semua sudah terjadi.

Hari ini, untuk pertama kalinya ia menapaki tanah Nusantara. Rasa bahagia dan tidak suka bertempur dalam benaknya, berusaha memenangkan mood Hanson. Dakmanya ada pada barisan terakhir timnya. Manik coklat madu itu diam-diam menelisik pesekitaran pelabuhan. Ramai tentu saja, ia bisa melihat para pribumi yang menunduk ketakutan tak banyak dari mereka yang sampai bergetar.

Cukup sudah, rasa tidak suka memenangkan moodnya. Bukan karna tak suka para pribumi dengan pakaian sederhana mereka, tapi ia tidak suka dengan kedatangan dirinya sendiri di tempat itu. Benaknya seakan tak sanggup menatap manik-manik para pribumi yang penuh kepolosan. Hanson berharap Tuhan mau memaafkan teman-teman tentaranya.

Barisan manusia-manusia itu terus melangkahi tanah lembab dan bebatuan. Hanson masih diam-diam menerawang sekitarnya, dingin dan damai, seperti rumah. Pantas saja banyak negara yang mengincar tanah ini, begitu subur dan kaya.

Hanson dan kawan-kawan adalah bantuan untuk pasukan Belanda di pedalaman hutan yang bertugas memerangi pemberontakan rakyat pribumi. Hutan adalah jalur perjalanan mereka, jeep dan kendaraan lain tak bisa masuk karna lebatnya pepohonan. Mereka tak hanya sekedar berjalan, mereka menyambung langkah dengan waspada. Musuh itu kan penuh kejutan.

Namun sulit bagi Hanson untuk fokus pada keadaan sekitar saat dirinya sedang terjebak dengan hal baru.

“Je bent zo stom.” (Kau seperti orang bodoh.) Sebuah suara dengan aksen berbisik menyapu pendengarannya.

“Kau tidak mengerti seni.”

“Seorang tentara tidak perlu seni, kita hanya perlu kebranian,” Hanson tahu manusia di sampingnya ini tengah mengias dirinya secara halus.

“Apa kau tidak punya kaca, John?” pria bernama John itu terkekeh pelan.

“Setidaknya aku bergabung atas keinginanku sendiri.”

“Hey de achterkant!” (Hey yang di belakang!) Seruan garang membuat mereka berdua berhenti menarik langkah, segera mengambil sikap tegak. Seorang pria berkumis dengan beberapa bintang di dadanya menatap keduanya dengan intens.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang