CHAPTER 9

115 23 1
                                    

[ R.P Adi Bima Wijaya ]
Adim

•••

Kisah ini dimulai dengan semilir sejuk dari pegunungan, deru air sungai yang terdengar sungguh menenangkan. Warna hijau diseluruh bagian hutan terlihat menyegarkan. Diantara dedaunan itu, berdiri sebuah gubuk dan pemuda tampan tengah menikmati pagi harinya disana, duduk menghadap mentari yang tengah bersinar cerah. Suara aduan jangkrik dan katak terdengar merdu di telinganya, tidak sedikitpun mengganggunya.

Namanya Raden Panji Adi Bima Wijaya. Biasa dipanggil … Adim. Suka bertarung, suka berlatih, sampai orang tuanya kewalahan menasihatinya untuk belajar sopan santun di pendopo. Sang Ayah yang menyerah membangun sebuah gubuk di tengah hutan, membiarkan anaknya berlatih memanah sesukanya. Ia yakin Adim melakukannya bukan tanpa alasan.

Adim anak yang dingin, pemberani, dan gagah. Sikapnya dan wataknya dikenal banyak orang. Terutama tampangnya yang tampan dan tak terlihat seperti orang Asia Timur. Pagi ini, seperti biasa, ia sibuk berlatih memanah di hutan, satu anak panahnya ia lesatkan saat merasa terancam oleh keberadaan seseorang, hutan itu terpencil, tidak banyak orang bisa masuk ke dalamnya, "Siapa kau?" Adim menatap pemuda itu kemudian kembali sibuk dengan anak panahnya, sosok tinggi itu tak menjawabnya, “Oh, kau seorang tentara Belanda” Ucapnya kemudian meletakkan anak panahnya ke samping tubuhnya, “A-aku, jangan mendekat! Kumohon!” Sosok itu bergumam takut, “Aku tidak berniat memusuhimu.” Adim menjulurkan tangannya, sosok tentara Belanda itu mendongak terkejut. “Tapi aku bukan pribumi”

Adim tak banyak berbicara, meraih kain yang ia bawa, mengikat luka sang tentara. “Secara manusiawi, mau kau Belanda atau Pribumi, dalam keadaan seperti ini seharusnya tetap mendapat pertolongan” Adim menatap datar luka yang sudah selesai ia tutupi, “Dank je … (Terima kasih…)” Adim menatapnya, “Geen groot probleem (Bukan masalah besar)” Sosok itu menoleh terkejut, “Kau … Mengerti bahasaku?” Adim tertawa kecil, wajah tampan dengan mata hijau kecoklatan itu terlihat bersinar, “Aku bukan sepenuhnya pribumi, aku pikir kau tidak sebodoh itu untuk menyadarinya”

Sosok tentara itu hanya diam menatap Adim yang mengambil busurnya kembali, Set! Satu tembakan yang tepat mengenai target, “Aku Adim, Raden Panji Adi Bima Wijaya. Kau bisa memanggilku Adim” Adim tersenyum sekilas, Set! Anak panah kedua sukses membelah anak panah pertama. “Siapa namamu?” Adim meletakkan busurnya, menatap mata sosok itu, “Hanson Bareld. Tapi aku tidak menyukai nama itu” Adim memiringkan kepalanya, tak mengerti maksud dari Si Tentara Belanda ini. “Aku biasa di sapa Hadi oleh warga sekitar”

“Oh? Kau sudah akrab dengan warga disekitar sini? Hm … Aku pikir kau baru menginjakkan kaki di Madura” Ucap Adim kemudian duduk di samping Hadi. “Tentu tidak” Ucapnya datar. “Jangan memasang wajah masam! Ayo bermain ke kerajaanku!” Adim menarik Hadi dengan cukup kuat, “E-Eh! Adim!” Hadi segera melangkah, menyamakan langkahnya dengan Adim. Adim memang lebih kecil dan lebih muda darinya, tapi Adim terhitung sangat lincah dalam pergerakannya. “Kerajaan?” Adim mengangguk, tertawa kecil.

“Kau tidak bisa masuk tanpa aku, jadi bersyukurlah! Woohoo!” Adim menarik Hadi sekali lagi, masuk ke dalam kamar kerajaan yang luar biasa luasnya. “Duduklah! Aku akan mengambil obat” Hadi dengan segala keterkagumannya menatap seluruh bagian kamar Adim. “Jangan berteriak! Aku tahu ini sakit, tapi jika kau berteriak, aku bisa mendorongmu jatuh dari kamarku ini” Ucap Adim kemudian melepas kain itu dan mengobatinya menggunakan herbal yang telah diramu para tabib kerajaan. Adim menyelesaikan pembersihan luka dengan baik, ia memasang kain perban yang baru kemudian tersenyum bangga.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang