CHAPTER 3

264 41 4
                                    

[ Cakra Wijayakusuma ]

•••

Seperempat abad hidup di Hindia membuatnya paham betapa kerasnya kehidupan di bawah kaki para penjajah. Cakra Wijayakusuma, seorang tukang foto sekaligus buruh tinta yang lahir dan besar di tanah Jawa, tepatnya Yogyakarta, dapat merasakan dengan jelas, sangat jelas, sulitnya lahir dan besar di tanah airnya yang dikuasai penjajah.

Matahari sedikit enggan menunjukkan senyumnya di tanah Hindia pagi ini. Mendung, Cakra yang sebenarnya sedikit malas untuk keluar, bersiap-siap pergi ke tempat kerjanya, kantor berita Nusantara. Cakra berangkat dari bangunan yang lantai bawahnya digunakan sebagai studio foto sedangkan lantai atasnya digunakan sebagai rumah.

Hari ini Cakra memakai kemeja hitam dengan celana berwarna senada. Sebenarnya, ia sudah berniat menggunakan kemeja putih yang sudah sedikit menguning milik sang ayah. Namun, ternyata baju itu belum kering karena hujan deras yang turun di Yogyakarta beberapa hari belakangan.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai. Melewati jalan kota yang sudah tersentuh aspal serta bangunan-bangunannya yang tertata rapi, juga jalan kampung yang tanahnya becek karena hujan semalam dengan bangunannya yang begitu rekat serta kotor dan kumuh. Cukup sebagai gambaran atas ketimpangan bagi orang-orang yang melewatinya, yang normal terjadi di lingkungan para bangsawan atau setidaknya orang yang punya uang dengan rakyat tanah jajahan berpendapatan kecil.

Kantor berita tempat cakra bekerja itu memang tidak begitu besar, tapi cukup untuk menampung tiga puluhan orang pekerja. Letaknya yang cukup tersembunyi membuat tidak banyak masyarakat di lingkungan itu yang tahu kalau ada redaksi surat kabar milik Bumiputra, bukan milik Eropa apalagi Tionghoa. Mungkin semisal papan nama surat kabar ini tidak terpajang di depan bangunannya, orang-orang sekitar yang sebagian masih buta aksara hanya menganggap kantor ini sebagai tempat berkumpul biasa. Tapi justru di tempat inilah kami membahas berbagai macam peristiwa di sekitar kami serta pemikiran-pemikiran kami tentang negeri yang tidak bisa kami kelola sendiri.

"Selamat Pagi," sapa Cakra kepada rekan-rekannya yang terlihat sudah mulai mengerjakan beberapa artikel.

"A, Pagi juga Cakra," jawab salah satunya.

"Woah, kali ini kamu pakai baju hitam-hitam begitu, mau melayat kah?"

"Hush! Bukan begitu, dia Cuma ingin menunjukkan sisi misteriusnya," balas Hendra, jurnalis senior, juga salah satu pendiri kantor berita itu. Secara kepribadian, Mas Hendra, begitu ia sering disapa, adalah orang yang santai dan humoris, tapi sekalinya berkaitan dengan pekerjaan, dia bisa begitu serius.

Cakra tertawa kecil lalu berjalan menuju meja yang di atasnya terdapat teko berisi teh panas serta beberapa gelas kosong. Terkadang, rekan-rekannya menyediakan air putih atau teh untuk diminum bersama. Ia mengambil salah satu gelas kemudian menuangkan teh panas itu ke dalamnya.

"Eh iya, Mas, ngomong-ngomong soal misterius, aku yakin kamu tahu 'Tali' kan?"

Hendra menjawabnya dengan wajah sok serius, "Tali? Yang buat mengikat itu?"

"Aku serius, Mas, itu lho anggota organisasi bawah tanah yang jadi penghubung para pejuang."

"Tahu tuh, kenapa memangnya?"

"Aku sangat-sangat penasaran dengan identitas aslinya, sebagai jurnalis aku sudah banyak mencari informasi tentangnya, tapi tidak ada secuil pun yang berhasil kudapat. Menurut Mas kenapa?"

"Mungkin.... Dia juga jurnalis?"

Seketika Cakra terbatuk-batuk. Niat awal yang hanya ingin menyeruput teh malah jadi meneguknya karena perkataan Hendra tadi.

The Rise of IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang