Jatuh cinta. Dua kata yang tak ingin kurasakan pada dia yang selalu akan kuanggap sebagai saudara. Selama ini aku menjaga hati dengan baik, sebuah tuntutan yang selalu kulafadzkan agar tidak keluar dari lingkaran yang akan membakar diri.
Sikap mas Pras menjelaskan semuanya. Di bawah egonya aku terkurung. Kesalahan untuk kedua kalinya dilakukan laki-laki itu.
Dia datang menawanku untuk kedua kali. Atas nama cinta dan ikatan yang masih sah, berani melakukan hal itu.
Aku tidak peduli omongan orang. Yang kupikirkan mba Nadin. Aku juga tidak butuh penjelasan bagaimana keadaan hubungan mereka yang menjadi kekhawatiranku bagaimana keadaan rumah tangga mas Pras dan mba Nadin ke depannya?
"Saya tidak mencintai Mas." harus kukatakan, agar laki-laki itu mengerti dan tahu bersikap ke depannya. Bukti aku tidak pernah menganggap hubungan kami adalah dengan tidak menyentuh sedikitpun uang tabungan yang dikirim setiap bulan atas nama nafkah. Aku juga memblokir semua akses mas Pras agar tidak mudah keluar masuk dalam hidupku.
Tapi, usahaku sepertinya sia-sia. Laki-laki itu kembali datang dan memudarkan asa yang tengah kuraih.
"Saya masih berhak." mas Pras mempertahankan egonya. "Kamu yang menolak saya kembali."
Karena saya menghargai hubungan kalian.
"Jangan berpikir untuk pergi." mas Pras menatapku lekat.
"Tidak merasa bersalahkah Mas pada mba Nadin?"
"Kesalahan saya meninggalkanmu setelah melahirkan Mecca." saat mengatakan itu, seolah mas Pras tidak pernah melakukan kesalahan. "Jadi jangan membenarkan pikiran yang ada di kepalamu."
Tetap. Aku tidak bisa menerima.
"Jangan pernah menyia-nyiakan apa yang sudah saya titipkan."
Itu sebuah ancaman yang diucapkan dengan nada rendah. Tatapan mas Pras tajam dan menusuk.
"Cukup Mecca yang kau buang, pastikan tidak terulang lagi."
Saat mas Pram mendekat, aku membuat jarak. "Cukup." ludahku sudah tersangkut di kerongkongan. Siapa yang membuang? Aku menjaganya dengan baik dalam kandungan, melahirkan dengan selamat. Prosedur kujalani dengan baik sesuai perjanjian.
Aku tidak sehina itu.
"Suatu hari nanti, kamu akan merindukannya. Ingin mendengar celotehannya. Sayangnya itu semua sudah terlewatkan."
Cukup panjang kalimat menusuk yang dilontarkan mas Pras.
"Mungkin kamu harus berlutut untuk mendapatkan pengakuannya."
"Kenapa mas mencari pembenaran seolah masa lalu kita adalah kesalahan?" mas Pras membuatku bingung bersamaan dengan goresan luka.
"Mas lupa?" tanganku menahan dengan baik selimut yang membalut tubuhku. "Saya menerima permintaan ibu karena menjaga martabat mas sebagai anak laki-laki satunya di keluarga ini. Mas tidak melupakan hal itu kan?"
"Karena tahta? Kamu membuangnya karena mau saya memegang kuasa perusahaan itu?"
"Saya tidak membuangnya." aku tidak menangis, hanya saja air mata jatuh untuk sebuah alasan.
"Janan menyalahkan bakti saya pada ibu." setiap kali mengingat sosok bu Alawiyah kekuatanku kembali. "Sejarah hidup kita tidak sama."
"Kamu berbicara bakti? Bagaimana baktimu pada suamimu?"
"Kita bukan pasangan----"
"Kita adik kakak, begitu? Sampai kapan anggapan bodoh itu berlaku? Bisa kamu pastikan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomantikDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...