POV Prasaja Sutanto.
Tidak berniat menghadirkan rasa, karena bukan sepertinya wanita yang kuinginkan. Namun, tak sedikitpun aku mengingkari garis takdir sekalipun wanita itu menolak.
Samar, rasa yang terpancar dari matannya. Tak bisa kuartikan setiap gelagat yang kusaksikan dari sikapnya. Antara cinta dan tanggung jawab terlalu sulit kubedakan. Ada pertikaian batin saat aku mengartikan tentang hatinya. Aku pernah tahu, pernah juga merasakan degup rasa bersama wanita pilihanku saat itu. Dari itu, tahu jika perasaanku padanya bukan sekedar rasa, ada makna dalam di sana.
Tidak ada yang patut disayangkan jika aku menghadirkan rasa lain dalam dua mahligai. Tidak ada yang menginginkannya, namun kembali pada fitrah yang ditolak oleh seorang wanita yang telah menjadi seorang istri.
Keadaan hati setiap insan, hanya Tuhan yang tahu. Aku menjalani tanpa melibatkan naluri, tapi Tuhan tahu jika kebaikan yang kubutuhkan ada pada wanita yang dipilihkan ibu. Sempat menolak mengingat statusnya dalam keluarga kami.
Dingin dan polos sikapnya membius degup membara yang pernah hadir untuk wanita pilihanku.
Dia berbeda. Semua tentangnya tidak sama. Sadar, rasaku mulai berlabuh. Tidak mengingkari hanya membatasi diri, kerena ingin lebih mendalami, terbuai karena kepolosannya atau murni hati yang menginginkannya.
Setelah tahun berlalu, mata itu kembali kutentang, raga itu bisa kudekap lagi. Hangat pesona yang dulu meragukan kini tersibak dengan jelas. Disaksikan musim yang berganti, cintaku padanya tak luntur sedikitpun.
Kini, Tuhan kembali membuat jarak yang membutakan. Tahu dengan jelas yang diinginkan wanita itu
"Ibu ingin bertemu dengannya." sudah sering aku mendengar mba Alin mengatakan hal itu. Sama dengannya, aku pun tidak tahu ke mana harus mencari Hasna.
"Sudah empat tahun." sebelum mba Alin masuk ke kamar ibu, ia melanjutkan, "Temui mbok Nas, beliau pasti tahu."
"Aku sudah menanyakannya."
"Hanya bertanya, bukan meyakinkan. Mbok Nas menyayangi Hasna."
Maksud mba Alin, mbok Nas tidak akan memberitahu karena takut aku akan menyakiti Hasna, begitu bukan?
"Aku harus mencari alamatnya?"
"Jangan, kalau kamu keberatan."
Mba Alin menutup pintu dengan wajah dingin.
Kenapa tuhan menghadirkan rasa pada wanita dengan segudang kerumitan? Kenapa wanita selalu berbicara to the poit akhirnya mereka juga yang marah? Kenapa wanita mengambil keputusan dan merugikan banyak laki-laki?
Aku ragu, jika wanita adalah makhluk sosial.
Aku akan menjemput Mecca.
Pesan dari Nadin. Sering tapi tidak pernah kubalas. Tidak tahu dengan jalan pikiran wanita itu. Lebih baik mengadopsi anak orang ketimbang melahirkan anak sendiri. Lebih sayang tubuh untuk profesionalitasnya dari pada membahagiakan suami yang bisa saja mengancam keselamatan rumah tangga.
Lima tahun pertama menikah, hubungan kami sangat romantis. Tidak gersang seperti saat ini. Ketika membuat keputusan jika aku ingin mengadopsi seorang anak, dia menerima dengan senang hati. Nadin lupa, jika yang kuinginkan anak yang lahir dari rahimnya. Wanita itu lupa, jika caranya itu sudah mengosongkan sesuatu yang penting dari hatiku.
Jika ada yang bertanya, sejak kapan aku mulai menyukai wanita yang dipilih ibu untuk melahirkan anakku? Jawabannya adalah, setelah pertama kali aku menyentuhnya. Itu pertama kali bagiku melihat seorang wanita polos mau menerima sebuah hal yang tidak ada yang bisa menjamin masa depannya.
Pernah bertanya, dan kata tanggungjawab seolah tak mau lekang dari bibirnya.
Kembali pada Nadin. Saat ini, wanita itu menggantungkan perasaannya sendiri. Detak yang pernah hadir perlahan sudah dipudarkan oleh dirinya. Desah yang dulu pernah terucap telah dibungkam.
Cara Pandang kami telah berbeda. Arti mahligai tak lagi sama. Mempertahankan rumah tangga bukan sekedar karena anak-anak, ada harga diri yang tidak bisa dipandang sebelah mata di dalamnya.
Ibarat dipaksa memandang bunga dalam kawat berduri, suami mana yang tahan? Ketika ibu memintaku pulang setelah berbicara hal penting, aku menyetujuinya. Dan saat itu, secara sadar Nadin melepaskan ikatan kami.
"Mama datang?"
Aku memeluk bidadari kecilku, mencium puncak kepalanya.
"Mecca rindu."
Aku juga rindu pada wanita yang membuatmu ada di dunia ini. Pada wanita yang tidak kuketahui di mana rimbanya.
"Ada Papa." saat jawaban itu kuberikan, dia mengangguk. Aku ingin mengenalkan wanita yang telah melahirkannya. Ingin menyatukan hubungan menjadi sebuah keluarga yang layak.
Di mana dia, kapan dia pulang? Akan selalu menjadi bayang dalam tanya.
"Mecca punya Ibu."
"Papa sering mengatakannya," kata putriku. "Tapi Mecca belum melihatnya."
Kamu mengenalnya. Batinku terasa sakit saat mengingatnya.
Malam itu, aku dan Nadin bertengkar dengan hebat. Hasna menyaksikannya. Nadin sudah mengetahui, dan cukup saat di cafee wanita itu menyerang Hasna. Ketika menenangkan Nadin, aku kehilangan seseorang yang ingin kujadikan belahan jiwa hingga akhir hayat hidupku. Wanita yang telah menyempurnakan hidupku dengan kehadiran Mecca.
Ke manapun dia pergi, harapku dalam doa masih mengetahui jalan pulang. Rumahnya di sini, harta berharganya di sini.
Empat tahun, tinggal di Surabaya tepatnya di rumah Hasna. Pulang ke Jakarta hanya untuk menjenguk Ibu.
"Lusa Mecca bagi rapor, Mecca boleh minta hadiah?"
Hadiah yang akan diminta Mecca, mungkin tidak akan bisa kuberikan. "Bagaimana kalau Papa yang memberikan hadiah?"
Ketika matanya mengerjap, polos sikap ibunya memantul dari sana. "Boleh." dia penurut. Sama sepertinya.
"Papa mau ke Belanda." selain mengurus pekerjaan, negara itu juga menjadi salah satu tempat liburan terbaik.
"Mama di Inggris."
Tapi dia tidak di sana. "Papa belum ke Belanda."
"Mama menunggu kita di sana?"
"Mungkin." yang tidak kusemogakan. Karena bukan wanita itu yang kuharapkan.
Cerita lengkap di karyakarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...