Di depan cermin aku duduk, menatap pantulan diri. Bercermin bukan untuk mengenali diri yang asing setelah mas Pras mengusik logika yang selama ini kujaga.
Dia pergi menyusul istrinya, membawa Mecca bersama. Hatiku bagai dihantam batu besar saat mendengarkan sebuah pengakuan dari mas Pras.
Bukan memintanya memilih, karena pilihanku dari dulu sudah tepat. Rasa yang dimiliki mas Pras adalah sebuah kesalahan.
Terjadi sesuatu?
Balasan pesan dari mba Alin saat aku mengatakan ingin menggugat cerai mas Pras. Dalih ikatan yang masih sah membuat laki-laki itu bisa melakukan apapun yang diinginkannya.
Mas Pras jatuh cinta.
Kamu baru menyadarinya?
Aku menunduk saat mendapat balasan seperti itu.
Mba tidak bisa ikut campur. Bicarakan baik-baik dengan Pras. Setelah itu hubungi Mba.
Berbicara dengannya? Apakah mas Pras akan mendengarnya?
Ada yang menghimpit dadaku saat sebuah rasa asing memaksa masuk. Aku tidak ingin memaknai tidak juga larut. Yang kulakukan adalah membenarkan kata hati yang disetujui logika.
Aku tidak suka jurang, karena tidak mau masuk ke dalamnya. Aku takut api, karena tahu api akan mengubah rasa menjadi bara.
Memilih tidur di rumah Dian, bukan solusi yang baik. Jejak panas mas Pras masih terlihat dengan jelas. Aku tidak mau Dian mengetahui kisah hidupku.
Bersiap usai makan siang, aku memberitahu mbok Nas akan tinggal di hotel sementara mas Pras berada di sini. Dari mbok Nas aku tahu sepulangnya dari rumah kerabat mba Nadin mereka masih mau tinggal di sini. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan mba Nadin memilih tinggal beberapa hari di Surabaya tapi dari sisi mas Pras cukup jelas.
Seperti yang dikatakan mas Pras. Dia kembali, bukan untuk pergi lagi.
Satu minggu, mungkin cukup. Seandainya tidak mitem, aku akan pulang ke Jakarta mengurus semuanya.
Pendidikanku adalah hal terpenting saat ini. Aku ingin menjadi wanita bermartabat membanggakan bu Alawiyah juga mba Alin yang sudah merawatku selama ini.
"Amira menunggu di aula." Dian menghampiriku.
"Sekarang?" Dian mengangguk.
"Tidak akan jauh dari soal Adhyaksa. Awak sudah ngasih tahu."
Masih ada waktu setengah jam sebelum mitem. "Awak ikut ya?"
Aku tidak menolak. Berjalan beriringan, kami menuju aula yang terletak tidak begitu jauh dari ruangan dosen.
Bukan hanya Amira, ada Adhyaksa juga di sana. Melangkah dengan pasti, aku mendekat.
"Ini." laki-laki itu berdiri santai. Ia menyeret sebuah benda yang kutebak sebuah MacBook terbungkus rapi di atas meja.
"Tidak ingin meminta maaf?"
Aku menatap wajah laki-laki itu. Meminta maaf untuk apa?
"Saya melakukan kesalahan?"
Tidak perlu bertanya lagi siapa yang memanggilku ke ruangan ini.
"Saya menggantikan MacBook, bukannya kamu harus melakukan hal yang sama agar impas?"
Aku sudah membuang waktu. "Saya tidak butuh benda itu." berbalik aku ingin keluar.
"Kamu mencari masalah?"
Suara Amira tidak menghentikan langkahku. Aku keluar dengan Dian. Getar ponsel kuabaikan.
Aku tidak memikirkan lagi masalah saat seminar. Semuanya sudah selesai. Semoga itu kali pertama juga terakhir masuk dalam kelompok laki-laki itu.
Fokus-ku tertuju pada lembar mitem. Menyimpan sejenak masalah yang sedang menimpa.
1 jam 25 menit, kelas dibubarkan. Aku bergegas keluar dengan tujuan yang pasti.
"Saya menunggu."
Aku melihat pemilik tangan yang menahan pintu mobil.
"Saya buru-buru."
"Saya tidak mengemis permintaan maafmu." Adhyaksa mengambil kunci mobil di tanganku.
Laki-laki itu berjalan kembali ke area kampus. Mau tidak mau aku mengikutinya.
"Berikan kuncinya."
Adhyaksa tidak berhenti. Langkahnya semakin pasti. Setengah berlari aku berusaha mensejajarkan langkah dengan laki-laki itu.
"Saya mau pulang. Berikan kuncinya." bukan ke aula, laki-laki itu berjalan masuk ke sebuah ruangan yang sering di pakai saat latihan ospek.
Jarang ada orang yang masuk ke sana. Daerah ini juga sepi dari lalu lalang mahasiswa. Aku ragu untuk melanjutkan langkah. Dengan pasti aku berbalik.
"Ikut saya."
Adhyaksa menarik tanganku dan menyeret ke ruangan tadi.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketika kami tiba di ruangan itu.
"Kata-kata saya yang mana yang membuatmu berani menampar saya di depan anggota?"
"Kenapa mempersulit, bukankah masalah itu sudah selesai?"
Tatapan laki-laki itu tajam, namun tidak membuatku takut.
"Harusnya kamu meminta maaf, bukan malah membalikkan fakta," kataku dengan jelas.
"Mengatai bagian dari penghinaan, di depan anggota kelompok lagi, yang saya lakukan impas." aku menempatkan kata impas pada posisi yang benar.
Adhyaksa masih bertahan dengan tatapan tajamnya.
"Kamu tidak mengenal saya."
"Sama. Kita tidak saling mengenal selain sesama mahasiswa," balasku dengan tenang. Aku mengulurkan tangan meminta kunci mobil. "Berikan."
Saat melihat raut lain dari wajah laki-laki itu, aku menggunakan kesempatan dengan baik. Kunci mobil berhasil kuambil dari tangannya dan bergegas keluar dari sana.
"Kamu sudah menikah?"
Langkah kakiku terhenti di ambang pintu. Tidak lama, aku merasakan tangan Adhyaksa manarik selendang yang membalut rapi batang leherku.
Dia tertegun, sama halnya denganku. Matanya mengerjap pelan melihat wajah dan leherku. Sesaat tatapannya fokus pada tanganku.
"Kamu belum menikah." masih dengan raut terkejut dan bingung laki-laki itu membuat pernyataan.
Aku menyadari jika laki-laki itu tidak melihat cincin melingkar di jari manisku.
"Kamu----"
"Anggap semaumu." karena aku tidak memiliki urusan denganmu. Menahan marah dan malu, aku merampas selendang di tangannya dan berlari ke area parkiran.
Satu persatu kekacauan mulai merambat dalam hidupku. Adhyaksa sudah mengetahuinya, nanti siapa lagi? Setelah ini apa lagi?
Mengemudi dengan kecepatan tinggi, aku menuju ke hotel yang tidak begitu jauh dari kampus.
Bukan menenangkan diri, aku butuh rencana matang untuk menghentikan kegilaan mas Pras. Chat yang masuk dari mas Pras enggan kubuka.
"Apa yang kamu lakukan di hotel?"
Kenapa aku mengangkat telepon laki-laki itu?
"Kamu wanita baik-baik kan?"
Suara di seberang sana, terdengar awas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana raut laki-laki itu, karena kami tidak sedekat itu.
"Aku tidak khawatir." tiga kata itu memutuskan sambungan telepon.
....
![](https://img.wattpad.com/cover/245056167-288-k238122.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...