Mecca 5

6.7K 761 55
                                    

Tidak ada yang kebetulan, karena pertemuan Mecca dan Miswar selalu terencana. Jika kemarin sangka Mecca karena Seyhan, maka hari ini Miswar memintanya datang ke rumah. Bukan hanya Mecca tapi juga dosen lainnya.

Halal bihalal, mungkin. Karena undangan itu tidak bertema. Ada 30 orang dosen yang hadir di kediaman Miswar Lazuardi.

Berkumpul di taman samping kolam renang, mereka disuguhi aneka minuman dan makanan. Tidak ada yang bertanya, pun dengan Mecca. Mereka menikmati undangan tersebut.

Ada beberapa dosen yang tengah fokus pada ayah dan anak yang berdiri tidak jauh dari mereka, sementara bagi Mecca pemandangan itu tidak menarik perhatiannya.

"Kamu juga datang?"

"Aku dosenmu," tegur Mecca tanpa harus melihat siapa yang menghampirinya.

"Tidak ada yang dengar," balas Seyhan.

Telinga Mecca masih berfungsi dengan baik.

"Papa menyogokmu?"

Mecca tidak menjawab, selain tidak sopan Seyhan juga membahas hal yang tidak penting.

"Sudah hampir selesai. Akhir bulan ini sidang." kenapa Seyhan menjelaskan hal yang sudah tentu diketahui Mecca juga dosen lainnya?

"Saya akan melamarmu. Tunggu saja," kata Seyhan sambil mengedipkan matanya.

"Saya dengar kamu akan melakukan pra-tes keluar negeri."

"Papa memberitahumu?" kali ini Mecca mendapat tatapan menyelidik dari Seyhan.

Mecca tidak menjawab. Wanita itu mendengar dari wakil rektor. Sebagai pewaris semata wayang, Seyhan harus belajar mengelola perusahaan langsung dari mentor.

"Saya bisa bekerja dimanapun. Yang penting bisa menafkahimu."

Jika mau jujur, sedikitpun Mecca tidak memikirkan ucapan laki-laki itu. Murni anak didik, itu anggapan Mecca pada Seyhan.

"Itu salah satu syarat membahagiakan istri, bukan?"

Dari kejauhan sepasang mata menatap tajam ke arah Mecca dan Seyhan. Bisa saja ia menghampiri keduanya, tapi laki-laki itu tidak mau mengumbar dulu. Ia akan menunggu, mungkin lima atau sepuluh menit lagi.

Bisa dilihat bagaimana tatapan memuja putranya pada Mecca. Jelas sekali jika Seyhan masih kekanakan dalam mengartikan rasa yang masih samar. Seyhan belum melihat dunia luar, maklum jika pandangannya mentok pad Mecca. Miswar berani bertaruh untuk itu.

Ketika adzan Maghrib berkumandang, undangan di arahkan untuk mengambil wudhu di halaman belakang.

Pemandangan yang indah, karena ini pertama kali mereka di undang ke kediaman pemilik kampus tempat mereka mengabdi. Sebuah musholla terletak di tengah halaman. Di depan musholla ada hamparan sawah kecil yang masih ditumbuhi pada nan hijau. Tidak perlu AC, karena suasananya cukup adem. Semua yang hadir tidak menyangka jika akan menemukan tempat seindah ini.

"Penuh. Di sini saja."

Karena Seyhan Mecca harus mengantri paling belakang. Sekarang ayah Seyhan pula menahan langkahnya.

"Saya mengantri saja, Pak." Mecca menolak dengan sopan.

"Waktu Magrib tidak lama."

Mecca tahu. Melihat dosen lainnya mengantri, dan dia harus menunggu lama, gadis itu menerima tawaran Miswar.

Sebuah kamar, terletak tidak jauh dari musholla. Mecca tidak perlu tahu kamar siapa itu. Tuan rumah yang mengantarnya, dengan kata lain dirinya sudah mendapatkan izin.

"Sholat disini saja. Musholla penuh." Mecca kaget saat mengetahui papa Seyhan masih berada di sana. Setelah mengatakan itu, Miswar keluar.

Mengenakan mukena, Mecca melaksanakan kewajibannya. Nanti saja melayani pikiran tentang perlakuan Miswar kepadanya.

Tidak ada kasak-kusuk tentang keberadaan Mecca. Yang diketahui teman sejawatnya adalah Seyhan menyukai gadis itu. Adalah hal wajar saat mereka berpapasan dengan Mecca yang baru keluar dari sebuah kamar masih mengenakan mukenanya. Seyhan pasti sedang mengambil hati Mecca, begitu anggapan mereka.

"Kamu bisa menyimpan di kamar tadi."

Bukan itu. "Seyhan di mana?"

Kening Miswar mengkerut. "Pergi dengan temannya."

Mecca berdecak pelan.

"Buka mukena dulu."

"Ada yang perlu kupastikan," tolak Mecca. "Sudah lama dia pergi?"

Tidak ada raut risih di wajah Miswar. "Saat kamu mengantri." kemudian Miswar menegur gadis tersebut. "Kenapa tidak mau mendengarkanku?"

"Tas saya ketinggalan di taman."

"Saya menyuruhmu menyimpan mukena." tatapan keduanya beradu.

"Kenapa Bapak marah?" tanya Mecca dengan muka datarnya.

"Saya yang menyimpan tas-mu." makanya Miswar menyuruh Mecca masuk dan membuka mukenanya karena mereka akan bersiap untuk makan malam. Apakah Miswar harus mendegar sekali lagi, jika Seyhan sedang menunggui Mecca ibadah setelah beberapa saat lalu menyiapkan ruangan khusus untuk gadis itu?

Benar memang. Orang asal bercuap tanpa tahu kebenarannya.

Masuk ke kamar, Mecca membuka mukena sedang ia tidak menyuruh Miswar menunggunya.

"Ke ruang makan. Meja nomor 2."

Selalu seperti itu apa? Miswar menunggu untuk mengatakan yang diinginkannya, setelah itu pergi? Apa maksud ayah anak didiknya itu?

Belum sempat Mecca meminta tas-nya, Miswar sudah pergi. Menuju ke ruang makan yang cukup luas, Mecca digoda olah rekan-rekannya yang sudah menempati beberapa bangku.

"Perlahan tapi pasti ya Bu."

Tidak ada tuan rumah di sana. "Apanya?" tanya Mecca bingung.

"Seyhan sama romantisnya seperti pak Miswar."

Pasti ada yang mendengar saat Seyhan mengatakan akan melamarnya.

"Bagi saya, selamanya dia akan menjadi anak didik."

"Jangan begitu lah, bu Mecca." bu Laksmi menyela. "Diperlakukan segitu baiknya, dilirik atuh usahanya." itu hanya candaan tapi Mecca tahu ke mana arahnya.

Bagaimana jika mereka tahu jika Miswar yang menyiapkan semua itu?

"Kami mendukung, Bu. Dari tangan Ibu Seyhan bisa berubah. Pak Miswar pasti bangga punya menantu seperti bu Mecca."

Mecca tidak enak obrolan yang sangat terbuka itu. Terserah jika mereka menganggap Seyhan yang melakukannya, hanya saja Mecca risih. Dia ingin dilihat dan dianggap sama seperti dosen lainnya bukan orang spesial.

Ketika semua telah berkumpul, mereka mulai menikmati makan malam. Mecca tidak sadar jika Miswar menatapnya dengan tajam. Yang dipikirkan Mecca adalah keberadaan tas juga kalimat rekannya.

Mizwar duduk di meja nomor 2, sedang Mecca menikmati makan malamnya di meja nomor 6. Mecca dengan pikirannya, sedang Mizwar harus menahan kekesalannya.

"Bapak sengaja menahan saya dengan tas itu?"

Saat semua orang sudah pulang, Mecca terpaksa menahan langkahnya. Seandainya di dalam tas itu tidak ada ponsel dan dompet, mungkin Mecca tidak akan meminta kembali.

"Saking pintarnya kamu tidak tahu lagi bagaimana bentuk angka dua?"

Dua detik berlalu, Mecca menyadarinya. "Yang penting saya makan." Mecca berkata dengan jujur.

"Selamanya kamu akan menganggap Seyhan anak didik?"

Kenapa Mizwar menanyakan hal itu? "Bisa berikan tas saya?"

"Jawab saja."

Apakah penting? "Kenyataannya memang seperti itu."

"Jika seperti ini." cepat dan tidak memprediksi gerakan Mizwar, Mecca merasa sesuatu yang basah menempel di bibirnya. "Apa anggapanmu?"

Tanya itu tidak mendapat jawaban dari sulungnya Prasaja Sutanto, melainkan sebuah tamparan.

Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang