Apa yang dilakukan mas Pras, menurutku itu sebuah kesalahan. Merasa memilikiku, nyatanya aku masuk dan melibatkan diri tak lebih sebagai rasa tanggung jawab juga balas budi.
"Kesalahan apa lagi ini?"
Mas Pras tidak menjawab. Tubuhnya, tidur membelakangiku.
"Saya sudah berjanji akan melahirkannya dengan selamat."
Dilihat dari segi manapun, keberadaanku tetap salah. Namun kembali lagi pada keadaan yang membuatku menerima jalan ini.
"Tidurlah. Kamu capek."
"Saya baik-baik saja."
Tubuh itu tidak berbalik. Rasanya aku ingin membuat hal samar baginya terlihat dengan jelas.
"Saya akan pergi, kalau Mas tidak mendengarkan."
Tidak ada jawaban. Turun dari ranjang, aku membuka lemari mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi.
Aku harus membersihkan diri. Melihat pantulan di cermin, jejak panas yang ditinggalkan mas Pras lumayan banyak.
Keluar dari kamar mandi, mas Pras membuatku terkejut. Di kusen pintu, ia bersandar.
"Sudah?"
"Mas mau mandi?"
"Tidak."
Bagaimana aku keluar jika dia tidak bergeser sedikit.
"Bisa geser?"
"Ada apa denganmu?"
Memberanikan diri aku menyentuh lengannya dan menolak agar tubuh itu mundur sedikit.
"Kamu seperti tidak ingin bersentuhan."
"Saya adik Mas."
"Jangan mulai." nada itu cukup tinggi.
Raut wajahnya tidak bisa kutebak. Marah atau kesal?
"Mas pulanglah. Kalau sudah melahirkan nanti, ibu pasti akan menghubungi."
"Siapa kamu berani mengatur?"
"Maaf." aku keluar dari kamar. Berada satu ruangan dengannya sangat tidak baik, mengingat hormonku yang tumpang tindih menciptakan emosi.
"Lapar?" itu suara bu Alawiyah. Aku tersenyum.
"Ibu ngapain?"
"Baru selesai minum obat. Tadi masih ramai, jadi lupa."
Menarik bangku di sampingnya, aku duduk.
"Masih handukan, kenapa nggak dikeringin rambutnya?"
"Nanti saja," jawabku tanpa melihat ibu.
"Pras masih tidur?"
Aku menggeleng.
"Hasna mau ke panti untuk beberapa hari, boleh?"
Ibu tidak langsung menjawab saat aku mengutarakan keinginanku
"Hasna kangen anak-anak."
Panti asuhan yang ingin kukunjungi adalah milik bu Alawiyah yang dikelola oleh keponakannya.
"Kenapa nggak izin sama Pras?"
Mengulum bibir sejenak, aku mengatakan alasan yang cukup logis.
"Hasna ingin sendiri. Bermain dengan mereka."
"Ibu tahu. Minta Pras mengantarmu."
Bagaimana cara aku menjelaskan keadaan saat ini?
"Kenapa? Kalian bertengkar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...