Aku tahu, yang aku inginkan bisa jadi bukan yang terbaik untukku. Menetap di Belanda dalam kurun waktu empat tahun, membuatku lebih paham tentang dinamika kehidupan.
Bukan menolak takdir, hanya menghindar dari sebuah hal yang bisa saja menciptakan petaka. Harapku, langkah ini tak lagi tersandung masalah.
Kabar di sana, aku tidak tahu. Menahan diri, agar tak lagi melibatkan diri. Sudah sejauh ini aku membawa diri, semoga aku tidak menoleh hanya karena sebuah masa lalu.
"Adhayaksa, memanggilmu."
Hidup di negeri orang, tidak mudah. Aku menjadi saksi untuk hal ini. Pernah bekerja di salah satu perusahaan besar tidak membuatku layak. Kalau kata Daisy, aku bukan calon babu.
Dan di sinilah aku. Membuka usaha bersama, dengan Adyahksa yang tak lain adalah orang yang pernah berada dalam satu almamater denganku.
Dian yang mengajaknya ke Belanda. Sedang aku cukup tahu diri, untuk tidak memberitahu kepada siapapun keberadaanku.
"Ada apa?" tanyaku pada laki-laki yang entah sejak kapan mulai mengenakan kacamata.
"Sudah ada keputusan untuk dua orang calon pelamar?"
"Aku masih sanggup. Kenapa harus membuka lowongan?"
"Yang kita kelola Caffe, bukan warung." Adhyaksa mengambil handuk kecil di tanganku. Sementara Dian hanya melihat.
"Kamu lulusan terbaik, kenapa tidak bekerja di perusahaan yang bagus?"
"Ini pekerjaan terbaik yang pernah kulakukan," jawab Adhyaksa.
Bertemu kembali dengannya setelah empat tahun lamanya, sangat tidak kuinginkan. Selain hubungan kami yang tidak terlalu dekat, ada hal yang tidak mengenakkan terjadi pada kami.
"Mungkin, kamu ingin dengar lagi." Adhyaksa menatapku datar. Tak bisa diartikan arti tatapannya. "Butuh perjuangan menemukanmu."
Aku tidak pantas mendengarkan kalimat itu.
"Yang terjadi padamu----"
"Lupakan," kataku dan berbalik meninggalkannya.
"Aku bukan tipe pemaksa. Tapi tolong, kendalikan dirimu."
Dia mengatakan dengan jelas. Apa yang diketahuinya selain kissmark di leherku? Dia memaklumi, atau berusaha mencari tahu? Sayangnya, aku tidak merasa harus menyembunyikan hal tersebut.
"Kamu memberitahunya?" tanyaku ketika mendapati Dian mengikuti dari belakang.
"Maaf. Awak keceplosan."
Pantaslah dia seolah bisa menguasai keadaan sejak pertama kali bertemu sekitar lima bulan yang lalu.
"Kau lah, percaya awak Has. Sudah tiga bulan bareng, enggak paham juga kau? Adhyaksa suka 'kan kau!"
Aku sudah sering mendengar, bahkan sebelum dua manusia itu berada di sini. Dian sering memberi kode, bukan aku tidak memahami.
"Poisisikan dirimu sepertiku. Nanti kamu akan paham." itu sebuah pernyataan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...