2

19.8K 1.7K 33
                                    

Tiga hari setelah kejadian itu, aku tidak lagi melihat mas Pras. Bu Alawiyah juga tidak menanyakan apapun tentang kami, hingga aku tidak bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya dipikirkan wanita paruh baya itu.

Sarapan pagi ini juga kami nikmati seperti biasanya. Diselingi obrolan kecil kadang selorohan tawa dari bi Rum.

"Pras tidak suka telur." kunyahanku terhenti, saat mendengar ibu menyebut nama anak sulungnya.

"Bi Rum sudah menggorengkan ikan.  Kamu bawa ke kamar ya."

Dia ada di sini? "Baik."

Nasi di piring, hanya kutatap. Selera makanku entah menguap ke mana.

"Hasna. Makan, jangan dilihat saja."

Aku mengangguk. Mas Pras ada di rumah? Setelah kejadian tiga hari yang lalu, aku tidak lagi masuk ke kamar itu dengan alasan yang sangat kuat, yaitu malu.

Tiga hari itu pula aku tidak melihatnya, dan bu Alawiyah juga tidak menyinggung nama laki-laki itu.

"Hasna anterin nasi mas Pras dulu," kataku usai sarapan. Aku memaksa sisa butiran nasi yang terlanjur terisi ke piring. Sungguh, aku tidak ingin bertemu dengannya, tapi tidak alasan yang kuat untuk menolak perintah bu Alawiyah.

"Tutup pintu depan. Jadwal Ibu kontrol hari ini."

Aku mengangguk. Sebelum naik ke kamar atas, terlebih dulu mengantar bu Alawiyah ke depan.

"Titip Ibu, bi Rum."

Bi Rum tersenyum. Dibantu pak Dito, bu Alawiyah masuk ke mobil.

Masuk ke dalam rumah, aku mengambil nasi yang sudah siap diantar ke kamar atas.

Perlahan aku naik ke lantai di mana laki-laki itu tidur. Kupandangi pintu kamar sebelum tanganku mengetuk memanggil penghuni di dalamnya.

Apa yang harus kukatakan pada laki-laki itu? Aku menggeleng. Aku tidak harus mengatakan apapun. Kalau dia bertanya, jawab saja apa yang kutahu.

Bismillah... Aku mengetuk daun pintu kamar yang pernah menyaksikan ketololanku siang itu.

Tidak ada respons. Berlutut, aku memangku nampan berisi nasi, segelas air putih dan segelas susu, setelah tujuh menit aku menunggu dan pintu belum kunjung dibuka.

"Hasna?"

Suara mba Alin.

"Kenapa di sini?"

"Eum. Mas Pras sepertinya belum bangun." tidak ada alasan untukku berbohong.

"Kamu istrinya. Kenapa tidak masuk saja?"

Benar. Tapi, aku tidak menganggap sejauh itu.

"Tunggu." dingin ucapan mba Alin cukup menakutkan. Mba Alin memperhatikanku. Kemudian, dia menarikku agar mengikutinya.

"Simpan nampan itu."

Tanpa menunggu dua kali, aku menuruti permintaan mba Alin.

"Kita mau ke mana?" tanyaku saat mba Alin memintaku untuk mengikutinya.

Aku memasang sabuk pengaman, saat mobil mulai berjalan.

"Kalian belum melakukannya?"

Mba Alin tahu? "Maaf."

"Sudah kuduga." raut wajah mba Alin selalu serius saat berbicara. Jarang aku melihat wanita itu bercanda ria.

"Mas Pras tidak selera melihatmu."

Aku tidak tersinggung malah bersyukur. "Alhamdulillah."

"Artinya, waktumu akan semakin lama dengannya. Kamu mau terikat lama?"

Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang