Follow IG @ryanimuhammad__
Keluar dari kamar, aku melihat mba Nadin dan mbok Nas sedang berbicara santai di ruang tengah, tempat biasa aku menonton.
“Mas-mu bilang pergi ke mana Has?”
Aku menggeleng. Saat mas Pras keluar dari kamarku, memang tidak mengatakan apapun. Laki-laki itu hanya tidur setengah jam.
“Akhir-akhir ini mas Pras jarang bicara.”
Kami tidak terlalu dekat untuk membicarakan laki-laki itu. Jadi yang kulakukan hanya diam saat mba Nadin berbicara tentang suaminya. Posisiku sebagai adik ipar di sini, terlepas bagaimana sikap laki-laki itu satu jam yang lalu.
“Mba sudah saraapan ya.” Aku merasa bersalah.
“Kami jarang sarapan. Paling Cuma minum susu. Sudah dibikinkan mbok Nas barusan.”
Aku mengangguk, mengerti pada jawabannya.
“Oya Has.”
“Ada apa Mba?” tanyaku saat mba Nadin memanggilku.
“Boleh kami menitipkan Mecca? Satu malam saja.”
Aku melihat mbok Nas. “Bisa Mba.”
Mba Nadin tersenyum lebar. “Mungkin selama ini aku sibuk sama Mecca, jadi waktu untuk mas Pras berkurang. Belum lagi pekerjaanku. Kamu tahu aku seorang model kan?”
Dengan senyum aku mengangguk. Aku tahu dari mba Alin profesi istri mas Pras.
“Hitung-hitung honeymoon. Sudah lama juga tidak punya waktu berdua.”
Aku pamit ke dapur dengan perasaan yang tak bisa kumengerti. Secangkir teh selesai kubuatkan. Aku merasa cangggung untuk bergabung dengan mba Nadin padahal di sana ada mbok Nas.
Mungkin di sini lebih baik. Angka jam menunjukkan pukul 09.10. Aku akan mengabarkan Dian hari ini bolos dulu, Cuma sehari. Tidak enak menolak permintaan mba Nadin.
“Has, bisa minta tolong buatkan kopi untuk mas Pras? Aku sedang mengangkat telepon.”
“Baik Mba.”
Tidak lama mbok Nas masuk ke dapur, ada dia bersamanya. Matanya sembab, seperti habis menangis.
“Kenapa Mbok?”
“Jatuh kata papanya.”
Saat aku menatapnya, dia juga melihatku. Matanya bagus. Hidung juga bagus. Aku tertegun. Dia memiliki hidung yang sama denganku.
“Di laci ada obat merah, Mbok.” aku lanjut membuat kopi. Meninggalkan si mbok juga dia yang masih sesenggukan.
“Biar Mbok saja, Has. Mbok enggak tahu di mana obat merahnya,” kata mbok Nas.
Membuka laci lemari yang ada di samping kulkas, aku mengambil obat merah dan memberikan pada mbok Nas.
“Mecca sedang kesakitan, kamu tidak bisa melihat?”
Suara mas Pras tidak besar, tapi cukup mengganggu pendengaranku. Tanpa melihat laki-laki itu aku mendekat. Di depan anak gadisnya aku berlutut, melihat luka memar dikulit betisnya.
Mengambil kapas, aku membersihkan luka tersebut. Aku meniup pelan saat mengoleskan obat merah yang sudah kuteteskan pada kapas. Tidak mengatakan apapun, hingga selesai mengobatinya.
“Terimakasih.”
Aku tertegun mendengar suaranya.
“Sama denganmu. Dia akan mengatakan hal yang penting saja pada orang lain. Kecuali mamanya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...