Karena tidak bisa tidur, aku meninggalkan mas Pras sendiri. Biarlah dia istirahat, saat bangun nanti, aku akan mengajaknya bicara. Sesuatu yang akan selesai, harus dimulai dari sekarang, agar tak ada kisah yang mengikat nantinya.
"Pras tidur?"
Aku mengangguk, dan membantu bu Alawiyah mendorong kursi rodanya.
"Kenapa enggak ikut tidur?"
"Gerah Bu." sedikit berbohong tidak apa. "Nggak mempan dinginnya AC."
"Karena Pras?"
Aku tersenyum, mendengar godaan ibu. Apa yang ibu pikirkan tak akan sama dengan anggapanku pada anak laki-lakinya.
"Kan kata Ibu, kalau kehamilan semakin besar, suka panas."
"Kenapa baru panas sekarang?"
Kan.
"Jangan cari perkara sama Pras. Ada bi Rum yang jagain Ibu, kamu masuk saja."
Hari sudah mau maghrib. Dari teras belakang, ufuk merah sudah menampakkan diri.
Sepiring keripik talas ungu, dibawakan oleh bi Rum.
"Sudah matangan?"
Ibu meletakkan piring di atas pangkuannya.
"Pras suka keripik ini."
Aku tahu, karena sering kali ibu mengatakannya.
"Kamu juga akan suka."
"Hasna suka apa aja, Bu."
"Kecuali Pras dan Mangga."
Aku tertawa. Bi Rum juga ikut ketawa.
Menunggu adzan maghrib, kami menikmati sepiring keripik yang sangat enak di mulutku.
"Dijadikan lauk, enak Bi?"
"Tentu. Di kampung, asal halal, semua bisa diolah."
Aku mengangguk. Selama menjadi anak angkat bu Alawiyah, tak ada satu kekuranganpun yang kurasakan. Limpahan kasih sayang, materi dan ilmu semua diberikan.
Bu Alawiyah, juga sering membantu bi Rum memasak sebisanya, karena keadaan yang tidak memungkinkan. Dari beliau aku belajar banyak hal, tentang hidup juga pengorbanan.
Usai sholat maghrib, kulihat mas Pras masih tidur. Aku hanya menjenguk dengan membuka sedikit pintu kamar. Masih mengenakan mukena bi Rum, aku kembali ke Musholla.
"Pras belum bangun?"
"Belum, Bu." meletakkan mukena, aku mengambil alih untuk mendorong kursi roda ke meja makan sementara bi Rum menyiapkan makan malam.
"Bangunin dulu," titah bu Alawiyah. Aku menurut.
Tidak ingin membuatnya berprasangka lebih, seperti sore tadi, aku masuk ke kamar.
"Dari mana?"
"Dapur," jawabku. Rupanya dia sudah bangun.
Tidak ingin berlama-lama, aku menyampaikan pesan ibu. "Ibu menunggu Mas untuk makan malam."
"Saya tidak lapar."
Oh. "Baiklah." aku menutup kembali pintu kamar. Tidak bisa se-aktif dulu, aku berjalan perlahan ke ruang makan.
"Loh, di mana Pras?"
"Tidak lapar katanya, Bu."
Bi Rum dan bu Alawiyah saling berpandangan. Bingung, aku bertanya, "Ada apa?"
"Tidak kamu tanyakan?"
Aku menggeleng. Orang belum lapar, yang harus di tanya apa? Kenapa belum lapar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...