11

8.5K 1K 47
                                    

Harvard, salah satu universitas yang diajukan mba Alin. Airlangga, Universitas yang kupilih yang ada di Surabaya. Di sana, aku tinggal di rumah yang dibelikan bu Alawiyah. Keinginan untuk jadi dokter, kuurungkan.

Komplek perumahan elit, di sana aku tinggal. Sarana yang disediakan bu Alawiyah tidak pernah kuminta, tidak juga kutolak. Tabungan yang tak akan habisnya juga telah disiapkan.

Sekalipun tidak melakukan hal yang diminta olehnya, semua hal ini tetap akan diberikannya. Karena aku tahu, bagaimana sayangnya beliau padaku. Begitu juga dengan mba Aline.

Dua tahun sudah aku menjadi warga kota Surabaya, menempuh pendidikan ekonomi dan bisnis setelah dua tahun menganggur,  berjauhan dengan ibu juga mba Alin. Selama dua tahun itu pula, aku tidak pulang. Bu Alawiyah yang datang dengan mba Alin setiap satu bulan sekali.

Perlahan, aku mulai melupakan peristiwa itu. Itulah alasan kenapa aku tidak pernah pulang. Hanya untuk beberapa tahun ke depan agar semuanya benar-benar hilang tak berjejak.

"Sudah selesai?" itu suara Adyaksa Maheru, ketua prodi.

Cowok berusia 19 tahun, yang dikenal dingin di kampus kami. Tidak banyak bicara dan tidak segan berkata kasar jika kelompoknya melakukan kesalahan.

Sembilan lembar yang telah ditandatangani sepuluh peserta dalam kelompok kami, kuberikan padanya.

"Lain kali, jangan menunggu saya. Kamu bisa mengantar ke ruang prodi."

"Maaf."

Adyaksa keluar dari ruanganku. Ini kali pertama aku berada dalam kelompoknya.

Tidak ada orang yang ingin masuk kelompok tugas dengannya. Kali ini, bu Retno membuat kelompok seminar mengumpulkan mahasiswa yang berhasil mendapatkan nilai terbaik saat ujian semester empat dua bulan yang lalu.

Perorang ditugaskan Adyaksa mencari bahan per-sub judul sebelum acara seminar minggu depan.

"Resiko jadi mahasiswa dengan IP tinggi." Dian Saputri, anak Medan. Kami cukup dekat. "Tengok awak, kalem saja tak payah nurutin si Adyaksa itu."

Kami berteman, tapi jelas otak kami berbeda. Dian tipe cewek santai.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

"Heran awak, kau asyik-asyik seminar, nggak capek?"

"Kamu belum gabung saja, Di. Kalau sudah tahu pasti suka."

Dian mengibaskan tangannya dengan cepat, dan membuatku tertawa. "Awak kuliah bukan cari kerjaan. Kau tahu? Setelah SMA masa indah itu saat kuliah, awak tak mau lah ngelewatin."

Masa SMA, memang masa paling indah. Saat duduk di bangku SMA, aku sudah merancang masa kuliah yang manis dengan teman-teman waktu itu. Hanya sebatas rencana, karena sebuah peristiwa. Dua tahun aku menganggur. Mungkin sekarang mereka sudah berkerja. Aku tidak pernah bertemu lagi.

"Eh Has, kau tahu Samsul?"

"Kenapa?" tanyaku.

"Kenal kau?"

"Anggota senat kan?" siapa yang tidak kenal anggota senat?

"Awak mau nembak doi."

Senyumku melebar. Inilah Dian, sahabat yang tidak ada jaim-jaimnya.

"Awak tengok dia sering lirik-lirik kalau ada awak dikantin."

"Ya tunggu disamperin, jangan dari kamu dulu."

"Kau lah, macam tak tahu jaman." Dian berkata serius. "Kalau ditunggu ya duluan yang lain yah. Awak tak bicara jodoh di tangan Tuhan, Has."

"Eum. Lanjutkan. Aku tunggu jawaban si Samsul," kataku.

Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang