Mecca

4.8K 610 23
                                    

Lima hari berada di sisi Miswar menemani walaupun laki-laki itu masih belum sadar, Mecca tidak bosan. Hatinya mengatakan jika ia harus berada di sana, ingin dirinyalah yang dilihat Miswar saat pertama kali membuka matanya. Tidak berlebihan, karena Mecca sudah menaruh harap atas rasanya. Hatinya tidak lelah, Mecca yakin ada kebaikan setelah kesulitan ini.

Seseorang yang melihat usaha Mecca tidak marah. Hanya saja sakit melihat wanita yang dicintainya menunggu dengan sabar merawat laki-laki yang tak lain adalah papanya. Ini sebuah hal luar biasa selama hidupnya. Antara calon ibu tiri dan orang tuanya, takdir sedang menguji hatinya.

"Aku akan pulang."

Mecca mengangguk. Ia sendiri tidak berencana pulang. Tidak ada yang ingin dikerjakan saat ini, mungkin keberadaannya di sini akan membantu.

"Kamu masih mau di sini?"

"Iya." orang tuanya sudah membawa perlengkapannya. "Sore ini dokter masuk, ambil penerbangan malam."

"Kamu bisa memberitahuku apa yang dikatakannya nanti."

Mecca tidak bicara lagi. Ia tidak memaksa, seperti dirinya saat ini walaupun dipaksa pulang maka dia tidak akan bisa melakukannya.

Berdiri di samping Mecca, Seyhan menghadap papanya. "Aku pulang Pa." Seyhan merindukan ekspresi papanya. "Cepat bangun. Jangan biarkan dia menunggu lebih lama lagi" Mecca menunduk. Bukan keadaan biasa, namun ia harus tegar. "Tuntaskan tanggungjawab Papa, dia setia untukmu." Seyhan melihat rambut Mecca, wanita itu menunduk. Apakah kalimat Seyhan terdengar menyedihkan? Karena maksud Seyhan adalah memberi mereka semangat.

Seyhan mencium punggung tangan Miswar sebelum pergi dari sana. Meninggalkan seorang wanita dengan isak tangisnya. Keadaan yang sulit baik Seyhan dan Mecca harus menghadapi.

Seyhan sadar, tidak akan bisa memenangkan hati Mecca. Laki-laki itu tahu siapa pemilik hati Mecca. Bisa saja ia tinggal lebih lama menemani Mecca menjaga papanya, tapi Seyhan punya tanggung jawab yang diembankan Miswar kepadanya.

Saat memandang langit ia tak melihat senyum Mecca. Benar, wanita itu sedang bersedih di dalam sana menunggu laki-laki sang pemilik hati. Maaf Seyhan belum bisa melupakan apalagi melepaskan. Ia biarkan hati menelaah rasa sampai menemui titik buntu. Tentang Mecca istimewa, sayangnya ia tidak bisa memperebutkan wanita itu karena yang dihadapinya adalah laki-laki yang selama ini memberikan jiwa dan raga untuk hidupnya.

Sulit, tapi itulah keadaan yang sebenarnya. Sebuah sudut telah disediakan Seyhan di relung hatinya. Jika ia pernah merasakan manis bersama Mecca maka tidak mustahil rasa pahit butuh ruang yang lebih banyak. Orang-orang menyebutnya kecewa, mau tidak mau Seyhan akan berteman dengan kecewa tanpa perlu menyapa kabar di sebaliknya. Miris, perasaannya bisa sehebat ini.

Tenang saja, aku bisa tersenyum mengatakan pada dunia jika aku baik-baik saja.

******

Satu jam lebih Mecca berada di luar ruangan demi menunggu antibiotik untuk Miswar. Ia menitipkan Miswar pada asisten. Perkataan dokter beberapa saat lalu membuat semangat hidup Mecca kembali. Banyak perkembangan dan Miswar akan sadar dalam waktu dekat ini.

Sebuah pesan suara sudah dikirimkan Mecca pada Seyhan, mengatakan sesuai ucapan dokter. Suara yang sangat berirama menandakan suasana hati sedang bersemangat.

Membuka pintu ruangan mata Mecca mengerjap kaget melihat siapa yang duduk di atas brankar. Duduk tanpa terlihat kesakitan.

Senyum haru Mecca terbit saat tatapannya dan laki-laki itu bertemu. Dokter mengatakan dalam waktu dekat, dan Mecca tidak menyangka waktu ini.

"Kenapa dia berdiri di sana?"

Perlahan senyum Mecca pudar. Tatapan itu, Mecca tidak menemukan binarnya. Bukan seperti itu tatapan Miswar padanya.

"Dia----"

"Saya mengantarkan ini." Mecca menyela cepat saat Ilham ingin menjawabnya.

Miswar tidak melihatnya lagi. "Banyak yang kulewati. Buatkan sebuah agenda."

Iham mengangguk.

"Sudah kamu hubungi tim kita?"

Lagi Ilham mengangguk. Laki-laki itu membagi fokus antara tuannya dan Mecca.

"Kamu ingin mendengarkan pembicaraan kami?"

Mecca menelan ludahnya mendengar cara Miswar bicara padanya.

"Keluarlah!"

Dingin wajah itu saat menatapnya. Memberikan antibiotik kepada Ilham, Mecca keluar dari sana.

"Apakah perawat di rumah sakit ini tidak tahu sopan santun?"

Sama seperti Mecca, asisten Miswar masih tertegun dan terkejut atas keadaan yang menimpa Miswar.

Di luar, Mecca duduk. Ia masih ingat ucapan dokter di hari pertama ia berada di sana, sedikit kemungkinan amnesia dan Miswar akan bangun dalam waktu yang lebih lama. Hari ini dua keadaan yang divonis oleh dokter bertukar. Bahkan beberapa saat lalu Mecca sudah membuktikan.

Tiga puluh empat hari pernikahan mereka sudah lewat. Setalah musibah di Rusia, kini Mecca menghadapi kenyataan lain. Apakah hubungan mereka tidak direstui oleh takdir?

Mecca melihat cincin di jarinya, perasaannya kacau. Miswar tidak mengingatnya. Semua yang terjadi di antara mereka telah dilupakan. Setitik air mata jatuh.

Ini bukan keinginannya, mungkin juga bukan Miswar. Satu pertanyaan, terlepas dari sebuah rasa, haruskah Mecca bersabar untuk keadaan ini? Bahkan kakinya enggan bergerak saat beberapa orang dokter kembali masuk ke ruangan Miswar.

Sampai kapan keadaan ini? Harusnya Mecca bertanya, tapi ia tidak ingin. Lepas mungkin lebih baik. Bukan lelah, hanya saja wanita itu sangsi dengan ketetapan hatinya. Bagaimanapun yang Miswar yang memulai semua ini, Mecca melangkah karena laki-laki itu memudahkan, namun saat ini sepertinya Mecca harus berjuang sendiri, tiba-tiba saja hatinya tidak ingin melakukannya. Mecca memaksa otaknya agar kali ini memihak pada logika.

"Maaf."

Mecca tahu apa yang akan dikatakan Ilham.

"Saya baik-baik saja. Kembalilah ke tuanmu." benar, ia baik-baik saja. Ia hanya perlu masuk dan mengambil semua barangnya.

Ilham tidak berkata apa-apa lagi. Baginya, perintah Mecca sama seperti perintah dari Miswar Lazuardi karena ia sudah diperintah oleh laki-laki itu untuk menghormati Mecca, tunangannya jauh sebelum keadaan hari ini.

Melihat Mecca masuk, Miswar melihat baik-baik wanita itu. "Kamu bahkan tidak mengenakan pin." tajam tatapan Miswar membungkam mulut Mecca. Tadinya ia ingin permisi mengambil barang-barangnya.

"Asalmu dari Indonesia, harusnya kamu membawa harum nama bangsa."

Mecca tidak menjawab. Ia mengsmbil koper miliknya.

"Masuk tanpa mengetuk, kamu punya attitude?"

Mecca tidak menunggu lagi. Ia keluar tanpa mengatakan apapun.

Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang