7. Kesaksian

5 0 0
                                    

Jangan meninggalkan seseorang untuk orang yang lainnya, karena kamu tidak pernah tahu siapa yang sesungguhnya layak untuk kau jadikan sebagai rumah.

🖤🖤🖤

Demi bisa bertemu dengan Hilda, Alya dan Syilla harus merelakan beberapa menit waktunya untuk menunggu cewek itu keluar dari kelasnya. Seperti menjawab harapan mereka berdua, kelas mereka bubar lebih dahulu dibanding kelas Hilda, sehingga mereka berdua bisa mencegah Hilda agar tidak 'lari' dari mereka.

Alya tidak mengerti apa yang ada di pikiran Hilda, sampai cewek itu menghindarinya. Walau dengan hanya mengandalkan feeling-nya, ia yakin keadaan Hilda tidak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya. Hilda hanya butuh menenangkan diri dari masalah kemarin yang ia hadapi karena Syilla. Untuk ketersinggungannya dan keegoisannya mengatakan sesuatu yang menyakiti Syilla, sahabatnya. Meski sarkas, Alya yakin Hilda tidak benar-benar ingin melukai Syilla. Cewek itu memiliki hati yang baik. Kekurangannya hanyalah pada saat marah, dia sulit mengontrol diri. Dan sebagai sahabat, Alya mengerti itu, begitu juga dengan Syilla.

Mereka berdua menunggu di lobby. Tak berselang lama, sosok yang mereka tunggu dapat mereka temukan. Hilda berjalan santai tanpa melirik keduanya. Cewek itu tidak menyadari eksistensi kedua sahabatnya karena ia berjalan sambil sesekali mengetikkan sesuatu pada ponsel di tangannya.

"Hi!" Alya berseru memanggil nama sahabatnya itu, membuat Hilda kontan menoleh ke arahnya.

Posisi mereka berjarak lima langkah, namun dibelakang Alya, Syilla berjalan melambat. Seperti butuh kekuatan lebih sebelum berhadapan dengan Hilda.

Walau tidak begitu dekat, dapat Syilla tangkap dengan jelas bagaimana reaksi Hilda saat melihat dirinya. Air mukanya tampak meredam kekesalan. Mungkin saja Hilda belum memaafkannya, atau belum melupakan pertengkaran mereka kemarin.

Hilda memutar bola mata tidak kentara.

"Kamu ada apa seharian ini gak kumpul sama kita?" Alya bertanya dengan lembut.

"Lo gak tau ceritanya, atau pura-pura gak tau?" tukas Hilda dengan frontal.

"Hi, ini masalah kecil, dan bisa diselesaikan baik-baik." jelas Alya dengan sabar. Ia tahu saat ini Hilda masih dalam emosi yang kurang stabil, sehingga sebisa mungkin Alya menahan nada bicaranya. Ia berbicara selembut mungkin agar Hilda tidak salah menilai perkataannya.

"Masalah kecil bagi seseorang yang tidak merasakannya," sahut Hilda, ia mengembuskan napas kasar. Lantas kembali melanjutkan. "Tapi bagi gue, ini gak bisa disepelein Al, lo gak tau gimana rasanya saat sahabat Lo gak ngedukung Lo, dan justru berpikir buruk tentang seseorang yang Lo suka."

"Aku ngerti, kamu sebenarnya salah paham, Hi. Syilla cuma khawatir kamu disakitin-" belum selesai Alya bicara, Hilda langsung memotong ucapannya.

"Kalo lo kesini buat nyeramahin gue dan belain dia, sorry gue gak ada waktu, bye.." Hilda akan melangkah meninggalkannya, namun dengan sigap Alya menahan pundak cewek itu.

"Tunggu Hi, Syilla mau minta maaf sama kamu.."

Hilda mematung mendengarnya, namun tidak sedikitpun menoleh pada Alya maupun Syilla yang berdiri membanjar. Alya lantas menoleh ke belakang, dengan tatapan mata ia memanggil Syilla untuk melangkah lebih dekat, dan melakukan yang memang seharusnya ia lakukan.

Dengan langkah pelan, Syilla berjalan mendekat, lantas berhenti tepat disamping Alya. Hilda masih membelakanginya. Syilla perlu menoleh pada Alya, menarik napas terlebih dahulu, mengumpulkan segenap kekuatannya sebelum menyatakan sikap mengalah-nya.

HI - in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang