16. Kegelisahan

5 0 0
                                    

Ada begitu banyak bentuk rasa sakit. Yang lebih menyakitkan adalah kita merasakannya namun tak bisa menunjukkannya.

🖤🖤🖤

Tak cukup mendapati kehampaan, sepulang dari rumah Roy, Hilda harus menahan sesak melihat kondisi bundanya yang tampak hancur.

Malaikat tanpa sayapnya itu tengah berjongkok seraya memunguti kepingan kaca dari piring-piring yang pecah. Wajah bunda begitu kuyu, dengan air mata mengalir deras di pipinya. Namun begitu Hilda turut berjongkok dan melakukan hal yang sama, dengan cekatan air mata itu dihapusnya. Seolah bundanya tak ingin menunjukkan kesedihannya.

Hilda tak bertanya apapun, karena ia tahu bunda tidak akan menjawab pertanyaannya dengan benar. Selama tujuh belas tahun ia hidup dengan bunda, selama itu pula ia mampu mengenal karakter bundanya dengan sangat dalam. Bunda adalah tipikal orang yang senang berbagi kebahagiaan dan memendam kesedihannya sendiri. Beliau selalu memasang tampang baik-baik saja sekalipun mendapatkan cobaan hidup yang berat. Lagipula tanpa bertanya sekalipun, Hilda sudah tahu siapa dalang dari masalah yang tengah bundanya hadapi ini.

"Kamu baru pulang?" tanya Bunda begitu melihat Hilda turut memunguti kepingan kaca, di sampingnya.

"Maaf, aku gak izin dulu sama bunda. Aku mampir dulu ke rumah temen." ujar Hilda.

"Ya sudah tidak apa-apa. Sebaiknya kamu ganti baju dulu, terus makan, Bunda sudah siapkan makanan dimeja belajar kamu." ujar Bunda.

"Aku akan makan habis ini." ujar Hilda kekeh ingin tetap membantu bundanya.

"Biar saja, bunda bisa beresin ini sendiri." kata bunda seraya bangkit untuk berjalan ke dapur lantas kembali dengan membawa sapu dan pengki. "Tinggal yang kecil, biar bunda sapu, kamu masuk kamar aja. Ganti baju terus makan."

"Tidak bunda, aku gak bakal makan kalo bunda gak izinin aku buat beresin ini." kata Hilda tegas seraya mengambil sapu dan pengki dari tangan bunda. Serpihan kaca tersebut dipastikannya tak bersisa. "Lagian memang kenapa bunda biarkan dia melakukan ini pada bunda. Bunda tau, aku selalu tidak terima bunda diperlukan seperti ini oleh orang itu."

"Siapa yang kamu maksud Hilda?" Bunda tampak sedikit keras.

"Aku tau ini semua ulah suami bunda, kan?" kata Hilda sambil terus menyapu serpihan kaca yang tersisa sedikit.

"Cukup Hilda! Bunda tidak pernah ajarkan kamu untuk membenci dan melawan orang tua, biar bagaimanapun dia ayah tirimu, dan kamu berhak menghormatinya."

"Apa pantas bunda, apa pantas seseorang yang memperlakukan manusia dengan tidak manusiawi dihormati dan dilayani selayaknya seorang raja?" nada bicara Hilda tetap datar dan ia masih tidak berani untuk menatap mata seorang wanita yang telah melahirkannya itu, sebab ia tahu sebagaimanapun ia mencoba menjelaskan, bundanya akan tetap membela suaminya tersebut.

"Sejak kapan Hilda kamu menjadi seperti ini? Siapa yang mengajarimu untuk menjadi pemberontak?! Bilang sama bunda!" Bunda meraih sapu dan pengki dari tangan Hilda, lantas mengamati baik-baik muka anak gadisnya itu.

"Bunda, maaf aku tidak bermaksud untuk melawan, aku cuma tidak mau bunda seperti ini. Aku kasihan sama bunda. Dan aku tidak terima bunda diperlakukan dengan buruk sementara ia selalu mendapatkan perlakuan baik dari bunda. Aku rasa itu tidak adil."

HI - in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang