4. Speechless

4 0 0
                                    

Kelemahan terbesar perempuan adalah mendapatkan perlakuan penuh cinta dari lelaki yang dipujanya.

🖤🖤🖤

Sehari sejak kejadian dimana kedua sahabatnya melihat reaksi berbeda dari sikapnya pada Roy kemarin, Hilda merasa hidupnya menjadi tidak tenang. Kadang, Hilda merasa apa yang dikatakan Alya padanya itu ada benarnya.

"Seperti halnya aku, kamu gak bisa membantah kalo hati kamu bisa aja jatuh untuk orang yang gak kamu harapkan."

Itu hanya perkataan biasa, bukan ramalan atau firasat, tapi Hilda merasa takut karenanya. Ia tidak mau jatuh pada orang yang salah. Ia tidak mau terjebak dalam dunia perbucinan, tapi bagaimana ia bisa menghindari semua itu? Ia bahkan tidak bisa mengendalikan diri dan menerima Roy dengan senang hati.

Oh God, apa yang dilakukannya kemarin? Ia salah tingkah di hadapan Roy?

Ia tidak suka Roy. Ia tidak suka kebiasaan Roy, ia tidak menyukai pergaulan cowok itu, dan ia membenci Roy sejak hari dimana ia mendapati perlakuan kasar Roy padanya. Tapi bagaimana bisa ia segugup itu berhadapan dengannya?

Hilda mengakui bahwa Roy memiliki kharisma yang mampu memikat siapapun yang melihatnya. Selain tampan, paras Roy juga manis. Hal itu membuatnya tidak bosan untuk dilihat. Tapi, apa karena itu ia terpikat?

Tidak, tidak, tidak, ia tidak terpikat. Ia hanya sedikit kagum pada anugerah yang Tuhan berikan pada cowok itu. Hilda tidak mungkin terpikat pada cowok kasar dan songong seperti Roy, sekalipun cowok itu ganteng luar biasa.

"Ish, kenapa sih gue jadi mikirin dia?" Hilda menutup mukanya dengan dua telapak tangan saat ia sadar bahwa pikirannya mulai tertuju pada cara Roy menatapnya kemarin.

"Hilda Aulia,"

Seseorang menegur namanya, membuat Hilda menurunkan telapak tangan yang beberapa detik tadi menghalangi pandangannya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyadarkan dirinya bahwa yang kini berdiri di hadapannya benar-benar orang itu. Orang yang ingin ia usir dari pikirannya.

"Gue harus manggil lo apa? Kakak? Teteh? Mbak atau Mpok nih?" celetuk Roy membuat Hilda masuk kembali dalam dunia realitas.

"Roy.." gumam Hilda. Ia masih tidak percaya seorang Roy mau repot-repot menghampirinya.

"Gue boleh ya duduk di samping Lo." kalimat Roy barusan tidak diakhiri tanda tanya, karena ia tak perlu izin untuk duduk dimanapun yang ia inginkan, sekalipun itu mengganggu privasi Hilda. Tapi ternyata, dibanding mengelak atau menjauh, Hilda justru penasaran pada tujuan Roy mendatanginya pagi ini.

"Lo ngapain kesini?" tanya Hilda lantas celingak-celinguk untuk memastikan keberadaannya dengan Roy saat ini, tidak diketahui oleh kedua sahabat Hilda, terutama oleh Syilla yang super kepo. Beruntung kondisi kantin dua pagi ini tidak begitu ramai. Hanya terisi oleh para penjaga stan dan beberapa siswa yang mungkin belum sempat sarapan sewaktu di rumah.

"Lo takut kepergok guru, kakak kelas, temen-temen lo, atau pacar lo?" tanya Roy mengalihkan pembicaraan.

"Gak penting," sahut Hilda. "Yang perlu gue tau buat apa lo kesini?"

"Gak boleh emang ya?" Roy balik bertanya.

"Tinggal jawab aja apa susahnya. Kenapa selalu ngalihin topik segala?" Hilda berdecak kesal.

HI - in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang