2. Il-Feel

1 0 0
                                    

Jangan jatuh cinta sebelum kau mengenalnya. Sebab cinta sebelum kenal, banyak mendatangkan rasa kecewa.

🖤🖤🖤

Pagi itu lapangan basket SMA Gemintang tampak begitu ramai. Nyaris seluruh siswa di sekolah tersebut berkumpul di sana untuk menyaksikan pertandingan olahraga yang sedang populer itu. Pertandingan ini sebenarnya bukanlah pertandingan antar sekolah. Hanya sekedar pertandingan antar angkatan, tapi justru karena itu juga suasana menjadi ramai. Karena setiap orang mendukung teman satu angkatannya masing-masing.

Berbeda dengan Hilda. Meskipun tim basket seangkatannya ikut bertanding, ia lebih memilih menjadi pendukung tim basket kelas sepuluh. Roy adalah alasannya menjadi pengkhianat seperti ini. Ya, Hilda merasa dirinya bisa dikatakan pengkhianat, karena tidak seharusnya ia menjadi pendukung tim lawan.

Namun, jika ini menyangkut hati, apa boleh buat?

Di tengah lapangan, terlihat Roy dan kawan-kawannya sudah dalam posisi siap. Sementara itu, Pak Adi-salah satu guru di SMA Gemintang- yang sepertinya bertugas sebagai wasit, terlihat melambungkan bola ke atas. Dapat Hilda lihat, kecekatan Roy dalam meraih bola. Roy memang patut dijadikan sebagai kapten, karena ketangkasan dan juga kelihaiannya dalam bermain.

"Amazing. Roy keren banget sih.." gumam Hilda dengan mata tak berkedip. Tanpa sadar ia melangkah maju dan berdiri tak jauh dari garis lapangan. Orang-orang di sekitarnya pun tak ada yang menyadari posisinya berdiri, karena larut dalam pertandingan yang kian memanas.

Setiap gerakan Roy membuat Hilda merasa tersihir. Suara penonton begitu riuh, dan kebanyakan dari mereka meneriakkan nama Roy. Tak heran, dalam pertandingan ini Roylah yang paling menonjol. Roy adalah penguasa lapangan dalam pertandingan ini. Permainan Roy membuat para penonton terpana. Kurang dari lima belas menit, cowok itu sudah berhasil memperoleh 3 poin. Sungguh suatu rekor bagi murid SMA Gemintang.

Entah darimana kekuatan juga ketangkasan Roy tersebut. Yang jelas, hal itu membuat Hilda semakin kagum padanya. Dapat ia rasakan api semangat para pemain. Pertandingan semakin memanas. Tim basket kelas sebelas yang notabene senior, tidak terima dikalahkan oleh sang adik kelas seperti Roy.

Bola basket yang berada di tangan Roy tiba-tiba melambung begitu tinggi karena pukulan keras dari pihak lawan. Hilda ternganga ketika menyadari bola itu menyambar ke arahnya. Bola besar itu jatuh membentur kaca matanya. Kaca matanya terjatuh, pandangan Hilda otomatis buram, samar-samar ia melihat kaca mata itu patah.

Ia meraba-raba ke sisi lapangan, mencari kaca matanya karena ia tak bisa melakukan apapun tanpa benda tersebut. Sementara itu penonton tampak semakin riuh. Di antara riuhnya suara-suara itu, masih dapat ia dengar sebuah suara yang kemarin terdengar begitu lembut di telinganya. Hilda yakin ia tidak salah dengar. Meski mereka tidak pernah dekat dan baru bertemu kemarin, tapi ia sudah hapal betul segala sesuatu menyangkut cowok itu. Ya, itu suara Roy.

"Woy, siniin bolanya!"

Suara lembut itu berubah menjadi gertakan kasar. Gerakannya meraba-raba tanah, berhenti hanya untuk memastikan si pemilik suara. Meski terlihat samar, namun ia dapat mengenali tubuh itu. Tubuh cool yang sampai hari ini masih ia banggakan. Hari ini cowok itu mengecewakannya. Roy membuatnya terluka karena nada kasar itu.

Memang bola itu berada tepat di bawah Hilda. Namun, karena penglihatannya kabur, fokus Hilda hanya satu, yaitu menemukan kaca matanya yang terlepas. Haruskah Roy sekasar itu hanya demi sebuah bola?

HI - in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang