29

1.3K 258 61
                                    

"Na," Irene mengusap rambut Nana lembut, meninggalkan sebuah kecupan di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Na," Irene mengusap rambut Nana lembut, meninggalkan sebuah kecupan di sana. "Kamu kenapa?"

Nana menggeleng, meninggalkan sesenggukan dalam bicaranya. "Aku minta maaf gak bisa jagain Mama."

"Siapa yang bilang gitu?"

"Aku minta maaf gak bisa jagain Mama."

"Gak ada yang bilang gitu, Nana."

"Aku minta maaf gak bisa jagain semuanya."

"Mas Nana," Yuna mendekat, menyentuh punggung kakaknya perlahan, lalu meletakkan sebalah pipinya di sana. "Mas Nana yang paling jagain Yuna. Mas juga yang paling jagain Mbak Ryu, Mbak Joy dan Mbak Yeri walaupun gak terang-terangan, dan juga Mama. Waktu Mama kena rumor sama pak Tarea, Mas yang nemenin Mama kemana-mama. Mas udah jagain kita semua dengan baik, jangan nangis lagi."

Ryu mengangguk, ikut menyentuh punggung Nana. "Mas yang bikin kita ngerasa aman. Jangan gitu,"

"Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku gak bisa menghentikan keinginan Oma, aku juga gak bisa bantu mempertahankan perusahaan yang Mama bangun dari bawah, aku gagal, ya, Ma?"

"Hei," Irene menekan dua bahu Nana dengan tangannya, menggeleng. "Kamu udah berbuat sebaik mungkin dengan selalu sigap buat kakak dan adikmu. Kamu udah berbuat yang terbaik dengan menemani Mama, tetap menjadi Nana yang seperti ini, membantu Juanda dalam masa sulitnya. Kamu punya hati yang luas, tapi juga pendirian yang tegas. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nana. Sisanya urusan Mama."

Nana menggeleng. "Maaf, Ma. Maaf."

Irene menahan napasnya, menatap mata Nana dengan tidak kuasa. Matanya gelap, sudah lama kehilangan kerlap yang dulu sempat hidup. Namun, hari ini, kegelapan itu semakin menjadi-jadi.

Setelah menyadari bahu Nana yang merapuh, Irene ikut terisak. Wanita itu meraih tubuh Nana ke pelukannya dengan lebih erat, mengusap pundaknya beberapa kali sebelum membenamkan wajahnya di dada anak laki-lakinya itu. Bahunya naik turun, diikuti dengan sesenggukan yang mati-matian ia tahan.

"Mama," Joy mendekat, ikut memeluk Irene setelah mendekat pada Nana. "Jangan nangis, Ma. Udah, jangan lagi."

"Nana," Irene memukul lantai dengan sebelah tangannya, mengisak semakin keras saat cengkeraman tangan kanannya meremas pundak Nana. "Maafkan Mama sudah mengambil banyak hal dari kamu. Karena Mama, kamu harus menahan diri untuk melakukan banyak hal. Karena Mama, kamu harus selalu berpura-pura. Karena Mama, kamu harus memaksakan dirimu menjadi garda keluarga. Karena Mama juga, kamu harus jatuh seperti ini. Maafkan Mama, Na. Maafkan Mama,"

Yeri lantas bangkit, menggeleng keras setelah melihat kerapuhan penuh di depan matanya. Ia memisah pelukan Mama dan Nana, terduduk di tengah mereka. Hening sempat mendominasi ruangan sejenak sebelum gadis itu menghela napas dengan keras.

"Gak ada yang harus minta maaf. Kalau ada yang harus minta maaf, itu Papa. Itu keluarga bajingan Sarapraja."

"Mbak Joy, wake up! Jangan kalut dalam suasana. Lo kakak tertua, lo harus berada di samping Mama selama proses akusisi ini terjadi." Yeri mengarahkan pandangannya pada Nana. "Lo tahu, kan, Na, harus apa? Gue minta maaf kalo sekarang lo merasa rapuh, tapi, cuma lo satu-satunya cucu yang bisa mengubah pikiran Yesikha. Lo laki-laki, penerus tahta mereka. Think about it."

Crazy Rich BaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang