7

2.7K 422 33
                                    

"Mas Nana!" Joy menendang ban mobilnya, tahu benar ia tidak bisa melakukan apapun karena ia bisa terlambat sampai di kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas Nana!" Joy menendang ban mobilnya, tahu benar ia tidak bisa melakukan apapun karena ia bisa terlambat sampai di kantor.

"Iya, Mbak?" Suara Nana menggema dari dalam rumah, diikuti gema jejak sepatu menuju garasi setelahnya.

"Kalo kamu anterin Mbak ke kantor dulu, telat gak?"

Nana buru-buru melihat ponselnya, menggeleng pelan. "Enggak. Kelas pertamaku jam sembilan lewat, kok."

"Emang mobil Mbak kenapa?" Nana membenarkan letak ranselnya, berjalan santai menuju mobilnya.

"Bensinnya abis! Lupa, udah berapa hari Mbak minta anter pak Aslan mulu soalnya."

"Pak Aslannya mana?"

"Kamu gak mau nganterin Mbak?"

"Lah? Kok gitu? Bukan, Mbak, kan aku cuma na-"

"Abis kamu nanya terus! Kalo gak mau nganterin Mbak, ya Mbak pake taksi aja!"

"Loh? Enggak dong, Mbak. Ngapain pake taksi, kan ada aku."

Joy lalu membanting pintu mobil saat masuk, menatap lurus ke arah depan. Nana yang baru masuk memilih menyibukkan diri untuk fokus menyetir mobil.

"Pak Aslan nganterin Yuna. Gak ada lima belas menit dia pergi, Mbak baru sadar mobil Mbak gak ada bensin." Joy akhirnya mau bersuara setelah keluar dari kompleks perumahan.

"Iya. Mbak sensi banget, kenapa?"

"Gak mood aja."

"Gara-gara bosnya Mbak?"

Joy refleks menatap ke samping, ke arah Nana. "Kok bawa-bawa dia, sih?!"

"Enggak nyai ampun!"

Sepanjang perjalanan, Joy hanya mengeluhkan betapa khawatirnya dirinya akan kondisi Ryu yang sejak semalam terus menolak makan. Ia ingin sekali menemani adik dan ibunya di rumah sakit, namun tuntutan kerja membuatnya mengesampingkan seluruh keinginan. Lagipula, Yuna saja dapat mengerti dan memutuskan pergi ke sekolah. Kenapa Joy harus egois?

Ia pamit pada Nana seketika setelah mereka sampai di kantor Joy. Joy melangkah ragu, sudah memutuskan apa yang akan ia pilih untuk pekerjaannya.

Joy berjalan di sepanjang koridor, menangkap perhatian beberapa pasang mata yang lalu tampak sibuk membicarakannya. Entah karena mereka tahu Joy adalah anak pemilik perusahaan, atau mungkin hanya sekadar pernah melihat Joy di televisi bersama Irene. Setelah menggunakan lift untuk sampai ke lantai yang ia tuju, Joy berjalan ragu, berhenti tepat di depan sebuah pintu besar.

Ia menarik napas panjang, membuka pintu itu perlahan. Dalam waktu singkat, seluruh perhatian di dalam ruangan teralih pada Joy.

Joy tersenyum kecil, berjalan ke arah sebuah meja di ruangan divisi itu dan duduk di salah satu kursi sana.

Crazy Rich BaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang