Gendhis Ingat perempuan yang mengunjungi rumah mertuanya adalah tunangan Juan, adik iparnya. Menurut penyewa rumah, perempuan itu datang mencari Marni. Perempuan itu tak punya niat jelek pada Emran dengan mengungkap masa lalu pria itu. Toh semua orang tahu jika Emran memang anak tak sah dari Ferdinant Ang dengan ibu yang tak jelas. Lalu untuk apa Nona kaya dengan busana rapi mau repot-repot berkunjung ke rumah dengan jalanan sulit.
"Kamu masak apa hari ini?" Gendhis mematikan keran dan segera membilas tangannya. Sibuk dengan pikirannya ia tak sadar jika suaminya pulang.
"Masak ikan cuek dan sambal matah. Abang mau makan?" Emran mengangguk senang. Mungkin bagi orang lain, suaminya menyeramkan namun untuk Gendhis, Emran cukup penyayang.
"Aku kemarin main ke rumah lama," ujarnya sembari menyodorkan piring yang dipenuhi nasi dan lauk pada suaminya. "Aku di sana bertemu seseorang."
"Bertemu siapa?" Emran menyahut tenang sebab mungkin ia menebak jika istrinya bertemu dengan teman lama.
"Dengan tunangan Juan." Emran berhenti makan. Tangannya ia celupkan ke baskom air bersih. Raut mukanya kini berganti marah, panik dan juga muram.
"Kamu yakin? Kamu bahkan Cuma melihatnya sekali. Mungkin kamu salah lihat." Iya jika perempuan itu tidak kabur.
"Aku beberapa kali melihatnya di foto yang ada di laptopmu dan juga aku sudah bertemu dengannya secara langsung sekali. Aku tidak salah lihat."
"Sedang apa perempuan itu di sana?" ungkapnya dengan geraman amarah. "Oh aku tahu dia pasti menyelidiku."
"Untuk apa? Bukankah asal usulmu juga semua orang tahu."
"Naima terlalu pintar dan juga licik. Juan itu Cuma boneka, Naima adalah orang di balik keberhasilan Juan. Aku harus mencari tahu sendiri."
"Jangan sakiti dia! Dia perempuan dan juga calon adik iparmu. Kelihatannya Naima juga bukan perempuan jahat."
"Jangan mempercayai orang dari penampilannya." Emran sudah banyak makan asam garam kehidupan serta sudah banyak melihat orang dengan tampilan baik tapi sebenarnya hatinya busuk. Nafsu makan Emran sirna sudah, ia memilih mengacuhkan masakan istrinya lalu mengambil jas untuk pergi.
Gendhis memukul mulutnya sendiri, Harusnya ia dapat menahan lidahnya untuk tidak bercerita. Emran memang seorang yang lembut untuknya tapi itu tidak berlaku pada keluarga Ferdinant.
*******
Masalah kedua orang tua kandungnya terpaksa Naima sudahi. Pada akhirnya siapa pun ibu kandungnya, Bagi Naima itu tidaklah penting sejak ia bertemu kekasih Emran di sana. Naima tidak mau berpikir atau membayangkan jika ia ada hubungannya dengan Gendhis. Berhubungan dengan Juan yang bersaudara dengan Emran saja sudah membuat kehidupannya di hantui teror apalagi harus terlibat lebih jauh lagi. Lebih baik memikirkan tentang persiapan pernikahannya. Tentang orang tua kandungnya ada baiknya Juan juga tahu. Kadang Naima takut jika tidakannya pergi dengan Saka kemarin akan mendatangkan sakit hati bagi Juan. Kalau dipikir lagi, apa selamanya Naima akan merasakan takut padahal pemilik hatinya sudah jelas siapa orangnya lantas apakah Naima akan sanggup menjalani sisa umurnya dengan pria yang tidak dicintainya? Hubungan memang bisa di kompromikan namun bagaimana dengan perasaan.
Karena pikirannya sedang penuh, Naima tidak merasakan jika di buntuti. Ia keluar restoran dan berjalan lenggang. Tak tahu saja ketika hendak ke parkiran, langkahnya di hadang empat orang berpakaian serba hitam dan juga besar.
"Bu Naima bisa ikut kami sebentar." Naima jelas takut serta panik. Belum sempat ia mengambil ponsel, tasnya sudah di ambil. "Tolong ikut dengan kami sekarang, kami janji tidak akan mengapa-apakan ibu." Ia terpaksa percaya dan turut serta sebab lengannya sudah di tarik dengan kencang. Naima di naikkan ke mobil van dan di bawa pergi tanpa tahu tujuannya kemana.
Akhirnya setelah satu jam perjalanan, mobil yang Naima naiki berhenti. Ia masih tidak tahu dimana ini karena matanya ditutup kain hitam. Ngeri jelas membayangi sebab semuanya menjadi gelap, jalannya pun di tuntun pelan lalu ia di dudukkan di sebuah kursi kayu.
"Selamat datang adik ipar."
Ikatan pada matanya dibuka, nampaklah Emran duduk di depannya sembari melemparkan senyum mengerikan. Rasanya ini lebih menyeramkan dari pada bersama para raksasa tadi.
"Sungguh kehormatan bisa diculik olehmu. Apa rencanamu kali ini? Nampaknya kamu lebih berani sekarang." Naima mencoba menegakkan punggung walau kakinya gemetaran ketika menginjak lantai yang dingin walau mengenakan sepatu. "Membuat Juan babak belur, tak membuatmu puas?"
Emran malah tertawa lebar karena menyukai ucapan tajam dari tunangan Juan. "Begitu pandai, berkelas, anggun dan juga mandiri. Begitu kan orang yang nilai tapi aku senang melihatmu sedikit rapuh."
"Apa maumu?"
Emran membuka serbet makan di depannya lalu menaruhnya di pangkuan. Mereka tidak di ruangan tertutup tapi Naima dibawa ke sebuah restoran china yang sepi pengunjung atau mungkin Emran sengaja menyewa tempat ini. "Harusnya aku yang bertanya apa maumu sampai kamu pergi ke rumahku yang lama?"
Naima menajamkan ingatan. Ia tidak pernah ke sana atau.... rumah Emran adalah tempat dia bertemu Gendhis kemarin tapi itu rumah Marni. "Sudah ingat sekarang?"
Naima membelalakkan mata namun kemudian berdehem untuk menetralkan perasaannya yang berdegup kencang. Emran Cuma penasaran dan mungkin tak ada niat menyakitinya. "Rumah di mana aku bertemu kekasihmu kemarin?" Emran tak mau meralat jika Gendhis bukan kekasihnya. "Itu Rumah gadis itu, bukan rumahmu atau hubungan kalian lebih dari itu?" nyatanya Naima berakal cerdas.
"Tak penting, Rumah itu sekarang milik siapa. Kenapa kamu ke sana?"
"Aku ada urusan pribadi di sana."
"Kau kira aku percaya? Kamu sengaja ke sana untuk menyelidiki asal usulku kan. Aku tahu betapa pintarnya Naima Hutomo ini. Dia bahkan menjadikan lawan menjadi kawan serta memenangkan proyek besar. Dia bisa menikah tanpa perasaan lalu menendang kekasihnya tanpa rasa bersalah!"
Byurr
Naima kehilangan kesabaran jika harga dirinya di rendahkan, sedang Emran mengelap wajahnya yang disiram air dengan lap lalu menatap Naima murka. Ia kehilangan kesabaran, ternyata Naima adalah perempuan paling keras kepala.
"Ku tanya baik-baik sekarang!" ucapnya sembari menarik kasar pergelangan lengan Naima. "Kenapa kamu ke rumah lamaku? Jika tujuannya hanya untuk menemukan kelemahanku, kamu salah besar. Usahamu akan sia-sia!" Naima mulai takut karena bola mata Emran dipenuhi api amarah dan dendam. "Katakan apa rencanamu! Katakan!!"
"Aku tidak tahu jika yang aku kunjungi itu rumah lamamu. Aku ke sana karena ingin mencari seseorang yang bernama Marni."
Kobaran api amarah Emran mulai mereda namun Emran tidak mau melepaskannya. "Kenapa kamu mencari orang bernama Marni."
Naima nampak ragu menceritakan yang sebenarnya, namun rasa takut mengalahkan segalanya. "Marni itu adalah Ibu kandungku, aku mendapatkan alamatnya dari ayah kandungku tapi sepertinya aku salah. Mungkin Marni sudah menjual rumah itu."
Tubuh Naima hampir jatuh ketika tiba-tiba kakak Juan itu melepaskannya, untungnya ada kursi sebagai pegangan. Ia mengatur nafasnya yang memburu, tidak menyadari jika Emran berdiri sembari terpaku. Selama beberapa menit, Emran bagai patung dengan mata terbuka. Perasaan laki-laki itu terasa di campur aduk. Kenyataan pahit macam apa ini, Naima adalah bayi mungil yang ibunya lahirkan dan buang. Ibunya menyimpan foto bayi perempuan itu di dompetnya, sesekali mengecupinya sembari menangis karena merindukannya. Mungkin perempuan ini berbohong serta ingin menipunya. Namun rahasia tentang bayi itu tak ada orang yang tahu, bahkan Ferdinant Ang sekali pun. Ia tak bisa menerima kenyataan jika darah yang mengalir di tubuhnya, punya kesamaan dengan Naima sekaligus Juan.
Naima tersentak kaget ketika Emran berteriak memanggil anak buahnya untuk mengantarkan dirinya ke tempat semula. Lelaki ini tiba-tiba balik badan dan membiarkannya pergi. Ada apakah gerangan dengan sikap kakak Juan itu yang berubah-ubah. Apa Emran juga tahu siapa itu Marni?
*******
Jangan lupa vote dan komentarnya. Cerita Emran sudah ku upload di wattpad jadi baca yang belum baca ya.