"Hentikan!" Seorang perempuan berteriak dari kejauhan lalu berlari menembus beberapa anak buah Emran yang berpakaian gelap. Tak ada yang menghalangi perempuan yang memakai gaun panjang berwarna merah muda itu. "Hentikan ini! Lepaskan Dia!"anehnya hanya karena ucapan keras perempuan asing itu pitingan Emran dilepas. "Sudah cukup. Ayo kita kembali!"
Emran beranjak tanpa protes. Perempuan itu menarik tangannya dengan erat lalu mulai berjalan beriringan. Keduanya diikuti orang dengan seragam hitam berbadan kekar. Bagitu Emran keluar Ring, pegangan Saka mengendur dan Naima langsung berlari ke arena untuk menolong Juan. Tampaknya Juan berusaha berdiri walau pandangannya buram serta badannya sakit semua. Saka tahu bahwa tenaganya sebagai laki-laki lebih dibutuhkan, Badan Naima terlalu kecil untuk memapah Juan.
*****************************
Naima menyiapkan obat-obatan untuk Juan tak lupa juga kompres dilengkapi es batu untuk meredam lebam. Pertarungan tadi sangat menakutkan, Juan hampir mati kalau saja perempuan itu tak datang. Lalu siapa perempuan asing tadi? Mungkin perempuan muda itu kekasih Emran. Bukannya setiap lelaki punya pawang yang bisa membuat mereka tunduk, begitu juga Emran yang keras hati dan dipenuhi dendam.
Naima menarik nafas ketika berniat masuk kamar Juan. Tunangannya hanya duduk di ranjang sembari menatap ke arah tirai jendela yang terbuka. Laut memang indah tapi tak dipandang dengan tatapan kosong.
"Aku kan mengobati lukamu." Ia kira setelah kapas menempel ke sudut mulut, Juan akan memekik atau paling tidak meringis namun Juan bagai patung, menurut ketika diobati. "Bisa buka bajumu." Ketika Juan bertelanjang dada, Naima terkejut. Luka di bagian perut, dada dan juga punggung lebih banyak dari bagian muka. "Pasti rasanya sakit sekali. Aku akan meminta asistenmu membelikan koyo pereda nyeri dan juga obat penahan rasa sakit."
"Aku telah kalah Naima, hatiku lebih sakit dari ini."
Naima mundur sedikit, sebelum membuka mulut ia menggigit bibir bawahnya dulu sembari memikirkan ucapan apa yang tepat untuk dikeluarkan mengingat harga diri Juan saat ini sangat terluka. "Kalah atau menang itu biasa."
"Aku menantangnya dan aku dihabisi. Aku terlalu sombong mengira bisa menang ternyata Emran memang hebat seperti yang ayah selalu bilang." Ferdinant Ang memang jagonya menumbuhkan rasa benci dan persaingan di hati setiap putranya. "Dia putra ayah yang paling kuat."
"Ayahmu berkata begitu?" tanyanya sembari menaruh alkohol di atas kapas. "Bukannya dia membenci Emran dan tak mau mengakuinya sebagai anak?"
"Ayah sengaja melakukan itu agar Emran kuat."
Dahi Naima berkerut dalam. Sekejam-kejamnya ayahnya, lebih tega Ferdinant Ang. "Dia tidak sengaja melakukannya karena ingin mengadu domba kalian kan?" Kapas basah itu mendarat di sisi pipi kiri Juan membuat si empunya muka mendesis pelan. Karena di rasa tunangannya tidak mengeluh, Naima melanjutkan sapuannya ke luka-luka di sekujur tubuh Juan.
"Mungkin."
"Apa ayahmu pantas disebut ayah. Beliau tidak mencintai putra-putranya dengan tulus. Mana ada ayah yang ingin para putranya saling menjatuhkan, terlepas kalian terlahir dari ibu yang berbeda. Kalian tetap anak kandungnya." Ucapan Naima dihentikan oleh pelukan Juan yang amat erat. Naima tahu jika hati tunangannya tengah rapuh dan lidah tajamnya berhasil membuat Juan tersentil atau malah terluka.
"Jangan bicara begitu walau perkataanmu benar tapi kebenaran ini melukai hati kami. Kami tahu ayah tak mencintai kami sebesar ia mencintai kekayaannya."
"Jadi berhentilah berusaha menjadi yang terbaik dan menjadi kuat. Aku menyukai Juan temanku saat kuliah dulu. Juan yang baik, Juan yang selalu menjadi penengah dan tak cepat tersulut emosi." Ujarnya sembari mengusap wajah Juan dengan perlahan sebab ia tahu mata Juan sudah berkaca-kaca. Pria selalu benci terlihat melankolis. Naima menarik nafas lalu memajukan tubuhnya, menempelkan bibirnya pada bibir Juan. Tak sulit walau rasanya tak sama dengan milik Saka. "Sebab akan mudah mencintai kepribadianmu yang sebenarnya. Bagaimana pun lemahnya dirimu, yakinlah aku akan selalu di sampingmu."
Juan yang awalnya tak yakin dan selalu menganggap kalau hati Naima masih tertaut ke Saka, kini hatinya jadi yakin bahwa hati manusia dapat dirubah. Karena Naima telah memberinya lampu hijau, Juan pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia raih kepala Naima untuk dilumat bibirnya, walau Juan harus mengakui tindakannya yang agresif itu mendatangkan nyeri pada sekujur wajahnya yang babak belur.
Saka yang awalnya ingin mengantarkan tonik terpaksa berhenti di depan pintu ketika melihat adegan itu. Saka memegang dada, ia tak punya riwayat penyakit jantung atau hepatitis tapi kenapa bagian dadanya terasa sakit. Tubuhnya limbung, merasa kehilangan kekuatan pada tumpuannya. Kesempatannya hilang, kesempatannya musnah. Rasanya optimisnya pergi, Naima telah menentukan pilihan.
**************************
Lamaran Juan seminggu lalu di Makasar ternyata diwujudkan lelaki itu dengan cepat. Mereka sudah memilih gedung, WO dan juga mengunjungi perancang busana. Naima tahu kali ini pernikahannya akan berhasil, masalah bahagia bisa menyusul kemudian. Bisakah begitu?
Naima menutup majalah fashion yang ia lihat. Tak ada gaun yang menurutnya pas atau memang pengantin lelakinya yang tidak pas hingga mendatangkan keraguan. Ia segera mengibaskan tangan, Saka adalah masa lalu yang tak perlu dipikirkan. Cinta tidak penting! Selalu itu yang Naima tanam di otaknya.
"Kak Naima!" panggil El dengan nada bahagia. Adiknya datang di saat yang tepat, menghentikannya dari memikirkan sosok Saka. "Aku denger kakak setuju nikah sama Juan?" Naima mendesah kemudian mengangguk pelan. El melirik majalah yang ada di pangkuan kakaknya.
"Kakak gak usah bingung mikirin gaun pengantin. Aku bakal buatin kakak gaun. Gaun yang bagaimana. Aku tahu selera kakak." Andai bisa, Naima minta mempelainya yang di ganti.
"Kalau kamu yang bikin kakak bakal percaya."
El tiba-tiba memeluk kakaknya. "Akhirnya ya Kak. Kakak bisa nikah dan pastinya bahagia dengan lelaki yang tepat." Air mata El menetes karena merasa haru. Semenjak dulu Naima selalu berkorban untuk keluarga sampai mengesampingkan derita dan kebahagiaannya sendiri. "Jadi nangis kan aku. Bentar aku ambil buku sketsa dulu di mobil."
Naima memandang kosong ketika adiknya melangkah pergi. Sekarang pun Naima masih mengesampingkan perasaannya untuk kebahagiaan orang lain. Mungkin ini sudah garis hidupnya.
"El mana?" tanya Clara yang datang membawa minuman.
"Dia keluar sebentar ngambil bukunya. El tahu aku mau nikah darimana?"
"Aku yang kasih tahu." Jawab ibu tirinya sembari meletakkan gelas di meja. "Kamu yakin mau nikah sama Juan?" Naima menarik nafas lalu tersenyum ringan. "Nikah itu keputusan yang penting di dalam hidup kita."
"Bagaimana dulu kamu bisa setuju nikah sama papi?"
"Kamu tahu alasannya kenapa. Aku gak punya pilihan saat itu tapi kamu punya."
"Memilih Saka adalah pilihan terbodoh."
"Sayangnya tak ada yang menyebut pilihan hati adalah pilihan bodoh. Aku ingin mencintai sekaligus dicintai. Kamu tahu Juan bisa memberinya lalu bagaimana denganmu?"
Naima menahan lidahnya, karena sejujurnya untuk masalah hati dia tak bisa memberi jawaban pasti. "kamu menjalani pernikahan tanpa cinta dengan papi. Kamu bisa, begitu pun aku. Kamu setia sama papi sampai mati terlepas umur kalian yang terlampau jauh. Aku dan Juan bisa menjadi teman, itu pilihan yang lebih baik."
"Tapi itu rasanya tidak menyenangkan. Pikirkan sekali lagi sebelum semuanya terlambat. Ini bukan lagi masalah perusahaan atau rasa balas budi tapi ini tentang kamu seorang Naima."
Ucapan terakhir Clara menghantam sanubari. Kini Naima gelisah lalu bingung kembali namun keraguannya terlindas saat El datang dengan cerianya sembari membawa alat tulis. Aku akan mendesain gaun sesuai keinginan kakak.
Naima menelan ludah dan Clara memilih menyingkir ke dapur. Pakaian sebagus apa pun akan terkesan muram jika Naima sang pemakai tidak lah bahagia pada hari pernikahannya nanti.
**************
Dikit ya? Aku lagi ngedit Galuh jadinya tulis Naima kagak sempet. tapi jangan lupa vote dan komentarnya. Jangan lupa juga intip cerita Emran di KBM