Keduanya telah mencari tempat yang tenang untuk bicara. Sebuah ruangan privat di restoran menjadi pilihan terbaik. Mengingat tak akan ada yang mendengar jika mereka akan saling melemparkan makian atau paling parah bisa terlibat baku hantam yang melibatkan piring dan juga gelas. Saka duduk tenang memesan minuman dan makanan ringan, sedang Naima melakukan hal sama. Mata mereka seolah beradu di udara, mengirimkan gelombang kebencian hingga bisa membakar taplak. Punggung Naima terasa kaku karena berusaha duduk tegak, memperlihatkan kekuasaannya
Datang ke sekolah Andra dan hendak menjemputnya. Aku rasa kamu bertindak terlalu jauh. Kamu bisa dituduh sebagai penculik.
"Aku ayahnya Naima. Jangan lupakan itu." Beberapa hari lalu ucapan Saka memang menguntungkan tapi kini pernyataan itu seolah mencekiknya kemudian mengikatnya secara posesif.
"Bukan. Andra putraku, kamu bukan ayahnya'. Naima selalu mengucapkan hal yang sama dan sukses membuat Saka terserang amarah. Apa susahnya mengakui kalau mereka terikat dalam darah seorang anak.
"Maka dari itu walinya adalah Narendra Hutomo bukan pria lain. Betapa pintarnya kamu Naima. Kamu tak punya suami jadi memberikan nama keluargamu untuk disandang Andra." Dan Saka bodoh karena tidak teliti. Nama ibu Andra, tercantum nama Clara di data yang tersimpan sekolah. Naima sudah menebak jika Saka telah menyelidiki Andra hingga bisa tahu di mana Andra sekolah, tinggal dan siapa walinya.
"Terserah apa yang mau kamu bilang Saka."
Naima bersikap masak bodoh. Dia mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja kemudian menyambar kaca mata hitamnya untuk dipakai. Tapi Saka tak suka di acuhkan, dengan kuat ia meraih siku Naima sebelum perempuan itu sempat berbalik. Dada mereka bertubrukan karena saking kuatnya paksaan Saka.
"Kamu selalu meninggalkanku sebelum pembicaraan kita usai."
"Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Soal Andra, dewasalah Saka sebenarnya kamu menggali masalah yang tidak ada." Naima berusaha lepas tapi tenaganya kalah kuat dan tekadnya kalah bulat.
"Begitu menurutmu. Kalau begitu aku akan merebut Andra. Uang bisa membeli segalanya". Mata Naima membola. Tidak mungkin Saka memenangkan permainan konyol ini tapi selama prosesnya, saka pastilah mengganggu hidup Andra sekaligus mendatangkan cemas untuk ibu tirinya. Hal ini tak boleh dibiarkan. Saka harus segera dicegah sebelum bertindak terlalu jauh.
"Aku tak akan membiarkannya terjadi. Aku akan membunuhmu Saka. Dengarkan aku, lupakan jika dirimu pernah bertemu Andra. Andra bukan putramu!!" ucap Naima tegas tapi seakan Saka telah dibutakan asumsinya sendiri. Setiap Naima mengatakan kalau Andra bukan putranya, amarahnya membumbung tinggi.
"Dengarkan aku juga Naima, Aku akan mendapatkan Andra sekaligus kamu."
Tangan Saka berpindah mencengkeram rahangnya. Bibir laki-laki itu maju menyentuh bibirnya. Naima rasa dia bukan lagi anak kecil yang tidak dapat membedakan antara kecupan dan lumatan. Saka dengan berani melahap bibirnya memasukkan lidahnya ke rongga mulut Naima kemudian mengaduknya. Ciuman itu berlangsung tak Cuma beberapa detik, Naima mengerang sebelum tersadar sebelum melayangkan tamparan keras ke pipi kiri Saka.
Plakk
Saka tersentak namun ia masih sempat tersenyum puas melihat penampilan Naima yang berantakan. Lipstik perempuan ini yang belepotan karena terhapus ciuman, belahan rambut Naima berpindah arah dan juga matanya yang mulai berkaca-kaca. Tentu saja Naima tak akan menangis di hadapan Saka. Mengucurkan air mata di depan musuh berarti mengakui kekalahan. Naima masih bisa melawan, menantang kemudian melotot sebelum pergi.
Walau ketika sampai di parkiran dan masuk mobil. Bibirnya bergetar menahan umpatan. Kakinya lemas karena merasakan bekas telapak tangan Saka yang meremas pantatnya. Naima menunduk, menenggelamkan kepalanya ke setir mobil. Bulir-bulir air matanya mengalir. Kenapa setelah sekian lama ciuman Saka masih bisa menggetarkan hatinya, membangkitkan hasratnya yang ia kira telah mati. Harusnya Naima merasa jijik bukan malah mengerang. Harusnya Saka bukan hanya mendapatkan tamparan saja, tendangan, jambakan atau mungkin pukulan lebih pantas Saka. Naima menangisi hatinya yang begitu lemah.