Ia berdiri sembari meratapi nasib. Harusnya misi ini berhasil dengan tidak adanya korban. Yang terjadi malah dua orang itu tertembak dan sedang di tangani dokter. Rasanya hampir sama seperti beberapa tahun lalu ketika melihat orang yang penting untuknya menghembuskan nafas di ranjang rumah sakit. Saat ini Emran butuh kehadiran sang istri untuk menenangkannya. Walau anak buahnya banyak yang terluka namun tak separah Saka mau pun Naima. Harusnya Saka tidak lembek dalam menghadapi penjahat, ke mana pistol pria itu hingga membiarkan tubuhnya terkoyak timah panas.
"Bagaimana keadaan mereka?:"
Emran dengan tak sabaran memeluk Gendhis. Istrinya itu tahu walau Emran kuat namun butuh juga dikuatkan. "Apa mereka sudah di tangani dokter."
Keputusan Gendhis salah jika membawa Juan kemari. "Semuanya karena dirimu. Dua orang itu yang jadi korbannya." Emran murka sampai menyeret kerah Juan dan memojokkan lelaki itu ke tembok. Juan siap jika dipukul, sebab semua sumbernya memang dia.
"Bang, tenang. Ini rumah sakit!" Emran melepas adiknya karena sadar tempat.
"Aku tahu, aku bersalah. Aku sangat menyayangi Naima, aku tidak ingin membuatnya celaka."
"Tapi ini sudah terjadi!" Emran memilih menenangkan diri di kursi tunggu. Membiarkan Juan di gerogoti rasa bersalah. Kemenangannya terasa hambar setelah tahu jika Naima terluka. Juan seperti pria tolol yang membiarkannya terjadi tanpa melakukan pengorbanan. Apa ia hanya memikirkan dirinya sendiri sedang Naima dengan Saka berjuang antara hidup dan mati.
"Di sini ada keluarga dari pasien Naima?" Celakanya salah satu dari mereka tidak ada yang menghubungi keluarga Naima maupun Saka.
"Saya...Kakaknya," jawab Emran walau ragu.
"Pasien Naima kehilangan banyak darah. Karena kebetulan setok kantong darah A+ kita habis. Apa Anda bisa mencarikan atau ada yang berniat mendonorkan?"
"Golongan darah kami sama." Emran mengajukan diri. "Saya yang akan jadi pendonornya."
"Kalau begitu, Anda bisa ikut saya."
Emran mengikuti perawat berpakaian hijau muda itu hingga hilang di balik tikungan tembok. Gendhis menghembuskan nafas lega, untungnya di saat genting seperti ini kekeras kepalaan Emran sudah dibuang ke tong sampah.
"Banyak yang Emran dan Saka lakukan, membuatku terasa tidak berguna."
"Bagus kalau kamu sadar." Gendhis bukan tipe penghibur yang baik. "Hubungi keluarga mereka jika ingin di anggap berguna."
Juan tidak tahu kenapa selalu menuruti perintah Gendhis, kalau menilik secara usia. Wanita yang mengaku sebagai istri Emran ini lebih muda darinya. Namun tatapan galak, kalimat jutek yang Gendhis lontarkan membuat nyali Juan menciut. Apalagi kekuatan tangan perempuan itu rasanya pasti tidak main-main.
**********************
Enam jam adalah waktu yang sangat lama apabila di selimuti kepanikan, rasa cemas dan juga suasana sedih. Emran duduk di dekat istrinya yang selalu menggenggam tangannya. Clara yang mewakili keluarga Naima duduk bersama Yelsi, ibu Saka yang sedari tadi menangis dan butuh di tenangkan. Sedang Juan memilih duduk agak jauh dari mereka, sesekali berdiri sembari mengusap dagu. Naima serta Saka di operasi secara bersamaan.
Seorang dokter dan asistennya keluar sembari mengelap dahi. Emran buru-buru menghampiri. "Bagaimana keadaan kedua pasien? Apa operasinya berhasil?"
"Operasinya berhasil, saudara Naima akan sadar beberapa jam lagi tapi..." ucapan sang dokter terjeda. "Saudara Saka masih dalam keadaan kritis. Peluru itu menyerempet Jantungnya. Kita doakan saja semoga saudara Saka bisa melalui masa kritisnya dan sadar kembali."